" KERAKUSAN $OEHARTO DAN KELUARAGANYA"

Pertanggungjawabkan kekayaan 77 yayasan yang sudah ada!

--------------------------------

Oleh George J. Aditjondro

SITI HARDIYANTI RUKMANA alias Tutut bereaksi dengan refleks yang itu-itu juga dalam menghadapi krisis moneter dewasa ini. Tanpa menyebut nama yayasannya, Menteri Sosial yang kaya raya itu menghimbau agar Presiden dan semua pejabat tinggi lain menyumbangkan satu tahun gaji mereka ke yayasan yang dipimpinnya. Dana itu akan digunakannya untuk membantu menyelamatkan kaum miskin di Indonesia yang semakin sengsara saat ini.

Begitulan pengumuman resmi pemerintah, hari Selasa, 17 Maret lalu, yang saya baca di Sydney Morning Herald. Berita itu tidak menyebutkan nama yayasan yang dimaksud. Makanya, serta merta berita ini membangkitkan tiga tanda tanya di benak saya.

* Pertama, yayasan mana lagi yang dimaksud sang puteri mahkota Suharto ini?

* Kedua, kalau itu merupakan satu di antara 77 yayasan yang sudah dikuasai keluarga besar Suharto dan antek-anteknya, apakah yayasan itu pernah diaudit oleh akuntan publik, dan diumumkan kekayaannya secara terbuka di media massa?

* Ketiga, apakah kekayaan ke-77 yayasan yang sudah mereka kuasai belum cukup untuk mengatasi krisis moneter sekarang ini, sehingga Indonesia harus menjadi pengemis yang tergantung pada belas kasihan negara-negara lain dan badan-badan internasional seperti Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional?

Repotnya, pertanyaan berapa sebenarnya kekayaan keluarga Suharto dari yayasan-yayasan yang didirikan dan dipimpin oleh keluarga besar Suharto dan antek-anteknya, sangat sulit dijawab oleh "orang luar". Kesulitan melacak kekayaan semua yayasan itu diperparah oleh tumpang-tindihnya kekayaan keluarga Suharto dengan kekayaan sejumlah keluarga bisnis yang lain, misalnya keluarga-keluarga Liem Sioe Liong, Eka Tjipta Widjaya, Prajogo Pangestu, Bob Hasan, Bakrie dan Habibie.

Tujuh kelompok: ------------------------- Betapapun susahnya, marilah kita coba melacak kekayaan yayasan-yayasan Suharto. Untuk mempermudah usaha ini, saya bagi yayasan-yayasan itu dalam enam kelompok. Pertama, yayasan-yayasan yang diketuai Suharto sendiri. Kedua, yayasan-yayasan yang diketuai atau ikut diurus oleh Nyonya Tien Suharto di masa hidupnya. Ketiga, yayasan-yayasan di mana saudara sepupu Suharto, Sudwikatmono ikut berkuasa. Seperti kita ketahui, Sudwikatmono adalah saudara sepupu Suharto yang paling dipercayai mewakili kepentingan keluarga besar Suharto di kelompok Salim dan beberapa konglomerat lain, sebelum anak-anak Suharto sendiri mulai terjun ke lapangan bisnis.

Kemudian, kelompok keempat adalah yayasan-yayasan yang diketuai para anak dan menantu Suharto. Kelompok kelima adalah yayasan-yayasan yang diketuai atau dikelola para besan Suharto beserta keluarga mereka. Kelompok keenam adalah yayasan-yayasan yang diketuai atau dikelola sanak-saudara Suharto dan Nyonya Tien Suharto dari kampung halaman mereka di Yogya dan Solo. Akhirnya, kelompok ketujuh adalah yayasan-yayasan yang didominasi Suharto melalui beberapa orang tangan kananya yang paling setia, Habibie, Bob Hasan dan Sudomo.

Dalam kelompok pertama dapat dihimpun nama sebelas yayasan, yakni (1) Yayasan Supersemar; (2) Yayasan Dharma Bhakti Sosial (Dharmais); (3) Yayasan Dana Abadi Karya Bakti (Dakab); (4) Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila; (5) Yayasan Serangan Umum 1 Maret; (6) Yayasan Bantuan Beasiswa Jatim Piatu Tri Komando Rakyat, disingkat Yayasan Trikora; (7) Yayasan Dwikora; (8) Yayasan Seroja; (9) Yayasan Nusantara Indah; (10) Yayasan Dharma Kusuma; dan (11) Yayasan Dana Sejahtera Mandiri (Vatikiotis, 1990: 63; Pangaribuan, 1995: 60-61, 70; Sinar Harapan, 16 Juni 1985; Warta Ekonomi, 29 Okt. 1990: 26-29; Gatra, 27 Jan. 1996).

Dalam kelompok kedua termasuk (12) Yayasan Harapan Kita, (13) Yayasan Kartika Chandra, (14) Yayasan Kartika Djaja, (15) Yayasan Purna Bhakti Pertiwi, (16) Yayasan Dharma Bhakti Dharma Pertiwi, dan (17) Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan (Gitosardjono, 1974; Robison, 1990: 343-345; Warta Ekonomi, 29 Okt. 1990: 27; Forum Keadilan, 23 Juni 1994: 36).

Yayasan Dharma Bhakti Dharma Pertiwi, sehari-hari diketuai dr. Nyonya Ida Feisal Tanjung, dan mencari dana antara lain melalui penyelenggaraan turnamen golf, seperti yang dilakukan di lapangan golf Rawamangun, Jakarta Timur, tanggal 15-16 Oktober 1994, yang diikuti oleh 474 pegolf pria dan perempuan. Seperti yang sudah diketahui secara umum, lapangan golf swasta 18-lubang seluas 35 hektar ini merupakan lapangan golf kesayangan Suharto dan Bob Hasan. Keduanya merupakan anggota top, bersama Sudwikatmono, Aburizal Bakrie, dan sejumlah menteri, dengan membayar biaya keanggotaan seumur hidup sebesar Rp 5 juta. Itu tarif tahun 1992, lho! (Prospek , 22 Febr. 1992: 76; Progolf , Nov. 1994: 90-91).

Anak-anak dan menantu Suharto, sudah diikutsertakan dalam mengurusi yayasan-yayasan yang diketuai kedua orangtua mereka, untuk "belajar dalam rangka kegiatan sosial," kata Suharto, sebagaimana dikutip dalam Warta Ekonomi, 29 Oktober 1990 (hal. 29). Sigit Harjojudanto dan Indra Rukmana, ia dudukkan dalam pengurus Yayasan Dharmais, sementara Tommy dan Bambang Trihatmodjo, di Yayasan Dakab. Tutut dijadikan bendahara Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, sementara Bambang dijadikan Bendahara Yayasan Dana Sejahtera Mandiri (Warta Ekonomi, 29 Okt. 1990: 29; Info-Bisnis , Juni 1994: 9, 15; Suara Independen , Jan.-Febr. 1996; D & R , 14 Juni 1997).

Dalam kelompok ketiga di mana Sudwikatmono ikut aktif, termasuk (18) Yayasan Prasetya Mulya, (19) Yayasan Bangun Citra Nusantara, (20) Yayasan Tujuh Dua, (21) Yayasan Indocement, dan (22) Yayasan Kyai Lemah Duwur. Di samping itu, Sudwikatmono juga aktif dalam beberapa yayasan yang diketuai Suharto atau Nyonya Tien Suharto yang sudah disebut di atas, yakni Yayasan Dakab dan Yayasan Purna Bhakti Pertiwi.

Seperti kita ketahui, Yayasan Prasetya Mulya lebih dikenal melalui wajah Sofyan Wanandi, jurubicara yayasan itu. Namun ketua Dewan Penyantun yayasan yang beranggotakan 50 orang pengusaha raksasa itu sesungguhnya adalah Liem Sioe Liong. Di samping bertujuan menyalurkan dana dari konglomerat-konglomerat ke dunia pendidikan dan organisasi-organisasi non-pemerintah (ornop), yayasan ini dikenal sebagai penyalur aspirasi para konglomerat, melalui jurubicaranya tadi (Soetriyono, 1988: 26, 98; Forum Keadilan, 1 Sept. 1994: 33).

Yayasan Tujuh Dua adalah pemegang saham PT Media Bintang Indonesia, yang merupakan kerjasama antara Sudwikatmono dan partner dekatnya, Benny Suherman, dengan kelompok Ciputra (melalui Ir. Piek Mulyadi). Mereka dengan lihai memanfaatkan pembreidelan tabloid Monitor dengan membajak 23 orang bekas staf tabloid itu untuk menciptakan kelompok media hiburan Sudwikatmono sendiri, yakni kelompok Subentra Citra Media. Kelompok ini mencakup tabloid Bintang , majalah Sinar , tabloid hiburan anak-anak Fantasi, serta tabloid mingguan Dangdut .

Begitu Arswendo Atmowiloto selesai menjalankan masa hukumannya, ia ditarik oleh Sudwikatmono untuk bergabung dengan kelompok bisnis medianya itu, dengan diberi 5% saham dalam perusahaan penerbit tabloid Bintang . Tak ketinggalan Noor Slamet Asmoprawiro, juga diberi 10 % saham dalam perusahaan itu. Maklumlah, almarhum adalah adik Harmoko, yang masih Menteri Penerangan waktu itu (Tambahan Berita Negara No. 147/1991 dan No. 2772/1993; Jakarta-Jakarta , 25 Sept.- 1 Okt. 1993: 81; Editor , 18 Nov. 1993: 58; Warta Ekonomi, 5 Juni 1995: 65; Swa , 28 Maret-9 April 1997: 92).

Sedangkan Yayasan Bangun Citra Nusantara bergerak di bidang perfilman (Swasembada [Swa ], 9-29 Mei 1996: 40). Seperti yang kita ketahui, PT Suptan Film milik Sudwikatmono dan Benny Suherman praktis menguasai semua jenis film impor. Pada mulanya perusahaan itu hanya mengimpor film Mandarin, namun kemudian mereka berhasil memaksa tiga asosiasi film asing masuk ke bawah satu atap, yakni Asosiasi Importir Film (AIF) yang mereka kuasa (Prospek , 31 Agustus 1991: 90).

Adapun Yayasan Indocement yang juga dipimpin oleh 'dwitunggal' Liem Sioe Liong dan Sudwikatmono, tidak cuma membiayai dan mengelola sejumlah SD, SMP dan SMA di sekitar pabrik-pabrik semen PT Indocement Tunggal Prakarsa di daerah Citeureup (Bogor) dan Palimanan (Cirebon), tapi juga menyumbang buku dan beasiswa untuk siswa dan mahasiswa di tujuh provinsi (Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Maluku, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur) serta kedua koloni kita (Timor Leste dan Papua Barat) (Gatra , 5 Agustus 1995, Pariwara, hal. 7).

Sedangkan Yayasan Kiyai Lemah Duwur adalah yayasan yang dibentuk oleh para pimpinan kelompok Salim untuk mengambil hati rakyat Madura, dengan mendirikan sebuah perguruan tinggi, Universitas Bangkalan. Seperti kita ketahui, Salim tadinya berniat membangun pabrik semen di Madura. Sebelum rencana itu secara resmi dibatalkan, Liem Sioe Liong dan Sudwikatmono duduk di Dewan Penyantun Yayasan Kiyai Lemah Duwur, sementara Anthony Salim, putera mahkota kelompok Salim, duduk sebagai Badan Pelaksana yayasan itu (Soetriyono, 1988: 119-120).

Kelompok keempat, saking banyaknya, perlu dibagi lagi dalam enam sub-kelompok. Sub-kelompok pertama adalah yayasan-yayasan yang diketuai atau didominasi Tutut, yakni (23) Yayasan Tiara Indonesia, (24) Yayasan Dharma Setia, (25) Yayasan Kebudayaan Portugal-Timor, (26) Yayasan Tunas Harapan Timor Lorosae, dan (27) sebuah yayasan pendidikan tinggi di Dili (InfoBisnis, Juni 1994: 13; Kompas , 28 Juni 1994; Jawa Pos , 3 Juni 1995;Republika, 20 April 1995; Matebean, 12 Jan. 1998), (28) Yayasan TVRI, serta (29) Yayasan Tri Guna Bhakti.

Lalu, sub-kelompok kedua adalah yayasan-yayasan yang dipimpin oleh Bambang Trihatmodjo atau isterinya, Halimah, yakni (30) Yayasan Bhakti Nusantara Indah, alias Yayasan Tiara Putra, yang dipimpin Tutut bersama Halimah (Indonesia Business Weekly, 25 Nov. 1994), (31) Yayasan Bimantara, (32) Yayasan Bhakti Putra Bangsa dan (33) Yayasan Intinusa Olah Prima yang diketuai Bambang sendiri, serta (34) Yayasan Ibadah dan Amalyah Bimantara Village, yang diketuai oleh Rosano Barack (Cano), salah seorang pemegang saham utama kelompok Bimantara.

Yayasan-yayasan yang dikuasai Tutut, Bambang, dan Halimah: -------------------------------------------------------------------- Yayasan TVRI, walaupun resminya selalu diketuai oleh Menpen, namun secara praktis dikuasai oleh Tutut bersama Bambang. Tutut menguasai Yayasan TVRI lewat TPI (Televisi Pendidikan Indonesia), yang bisa dengan seenak perutnya berhutang sedikitnya Rp 6 milyar biaya iklan pada (Yayasan) TVRI, serta lebih dari Rp 100 milyar ke rumah-rumah produksi yang sudah atau terancam bangkrut (Prospek, 6 Maret 1993: 18; Sinar, 4 Febr. 1995: 37; Forum Keadilan, 17 Juli 1995: 109; Gatra, 3 Febr. 1996: 106; Swa, 9-22 Okt. 1997: 90-92).

Bambang menguasai Yayasan TVRI lewat PT Mekatama Raya, yang sejak Februari 1992 diberi hak mengutip iuran TVRI dari pemilik televisi a/n Yayasan TVRI melalui suatu kontrak selama 15 tahun (Prospek, 7 Maret 1992: 68). Tak jelas bagaimana pertanggungjawaban uang hasil kontrak selama 7 tahun yang lalu, suatu bentuk monopoli keluarga Suharto yang pernah dipersoalkan oleh Ketua DPR/MPR waktu itu, Jenderal (Purn.) Kharis Suhud (Borsuk, 1992). Makanya dia tidak dipilih kembali menjadi anggota DPR.

Setelah Harmoko digantikan oleh Hartono, Yayasan TVRI tetap berfungsi sebagai pencetak uang bagi Tutut dan Bambang. Bahkan Hartono berjanji akan menggunakan tenaga militer untuk mengutip uang iuran TVRI bagi yayasan ini (Strait Times, 21 Agustus 1997).

Yayasan Tri Guna Bhakti, masih ada kaitan dengan Tutut. Yayasan ini didirikan awal 1996 oleh sejumlah ulama NU yang berhasil dirangkul oleh Tutut dan teman dekatnya, Jenderal Hartono. Ketuan yayasan ini adalah Drs KH Abd. Wahid Zaini, S.H. pimpinan pondok pesantren Nurul Jadid di Paiton, Probolinggo, yang masih keluarga jauh Hartono. Jenderal Hartono sendiri menjadi pelindung, sedangkan Tutut menjadi pembina yayasan ini (Tiras, 28 Maret 1996: 73).

Sudah dapat diperkirakan bahwa yayasan ini sekaligus berfungsi untuk menetralisasi suara-suara tidak puas terhadap pembebasan tanah serta polusi PLTU Paiton I yang sedang dibangun Hashim Djojohadikusumo di daerah Paiton. Yang jelas, ketika mertua Tutut meninggal dunia, yayasan ini ikut memasang iklan dukacita yang cukup menonjol di harian Jawa Pos, 7 Maret 1996.

Yayasan Intinusa Olah Prima mengelola klub anak-anak gawang Merdeka Boys Football Association (MBFA), yang baru saja diambil alih oleh Johannes Budisutrisno Kotjo, Bambang Trihatmodjo, dan Yapto Suryo Sumarno tanggal 27 Mei 1997. Konon maksudnya adalah untuk membantu memajukan sepakbola nasional, melalui pembibitan pemain-pemain baru lewat pelatihan anak-anak gawang tersebut. Niat ini timbul, setelah sukses Johannes Kotjo lewat perusahaan Van der Horst yang dimilikinya di Singapura, untuk membantu Klub Ballestier Central lewat penyuntikan dana sebesar US$ 225.000 (Tiras , 9 Juni 1997: 65-66).

Akhirnya, Yayasan Ibadah dan Amaliyah Bimantara Village, yang diketuai oleh Cano, adalah wahana Bambang Trihatmodjo dkk untuk mengambil hati umat Islam, lewat pembangunan perumahan rakyat yang dapat dianggap Islami. Salah satu proyeknya adalah "Villa Islami" di Karawaci, Tangerang, yang terdiri dari 1200 rumah di atas lahan seluas 104 hektar. Turut meresmikan kompleks perumahan rakyat itu adalah Menteri Negara Perumahan Rakyat, Ir Akbar Tanjung, serta Ketua Umum DPP REI (Real Estate Indonesia), Edwin Kawilarang (Ummat , 9 Des. 1996: 78).

Kebetulan, Edwin Kawilarang sendiri adalah orang Bimantara juga, karena dia adalah kepala divisi Real Estate Bimantara yang mengkhususkan diri dalam pembangunan apartemen-apartemen mahal (Warta Ekonomi, 22 Juni 1992: 22; Sinar , 20 Jan. 1996: 45-47; Swa, Jan. 1994: 101-109).

Sementara Akbar Tanjung pun bukan "orang luar" dari sudut bisnis keluarga Cendana. Perusahaan keluarga Tanjung, PT Marison Nusantara Agencies, berkongsi dengan kelompok Salim dalam pabrik susu PT Indomilk serta industri kimia PT Henkel Indonesia dan PT Zeta Aneka Kimia (Soetriyono, 1988: 39-40; profil-profil perusahaan keluarga Tanjung).

Yayasan-yayasan yang dikuasai Tommy: -------------------------------------------- Selanjutnya, sub-kelompok ketiga adalah yayasan-yayasan yang dipimpin atau didominasi Tommy, yakni (35) Yayasan Tirasa, (36) Yayasan Bhakti Putra Bangsa, (37) Yayasan IMI (Ikatan Motoris Indonesia) Lampung, (38) Yayasan Otomotif, dan (39) Yayasan Bulog.

Yayasan Bhakti Putra Bangsa dan Yayasan IMI Lampung lebih berhubungan dengan hobi-hobi Tommy yang menghasilkan uang -- golf dan balap mobil. Yayasan Bhakti Putra Bangsa yang diketuai Tommy menyelenggarakan pertandingan golf di Palm Hill Country Club Sentul, dekat Bogor, Jawa Barat, bulan Maret 1995 (iklan Bisnis Maritim, 30 Jan-5 Feb 1995). Dan kita sudah sama-sama tahu, bahwa golf di Indonesia lebih merupakan sarana negosiasi bisnis ketimbang olahraga yang serius.

Yayasan Tirasa, yang diketuai Tommy Suharto, dengan anggota badan pengurusnya Tungky Ariwibowo, Moerdiono, dan Tinton Suprapto, adalah pemegang saham PT Sarana Sirkuitindo Utama, yang pada gilirannya adalah pemilik sirkuit balap mobil Sentul. Jadi Sentul bukan milik TommySuharto. Begitu keterangan presdir PT SSU, Tinton Suprapto pada pers, 6 tahun lalu (Surya, 26 Juni 1993). Memang secara Sentul resmi bukan milik Tommy pribadi, tapi de facto, ya. Dasar Sentul-oyo.

Yayasan IMI Lampung, walaupun tidak diketuai Tommy secara langsung, merupakan instrumen untuk memperluas hobi merangkap bisnis balap mobilnya dari Sentul ke Lampung. Tarif ganti rugi tanah rakyat seluas 157 hektar di Lampung ditentukan langsung oleh Tommy selaku investor merangkap pengurus pusat IMI (Bola, Minggu I Des 1992; Kompas, 15 & 27 Juli 1996).

Yayasan Otomotif, tampaknya juga merupakan salah satu alat bisnis Tommy Suharto, sebab ia pernah mencoba meminta proyek apa saja dari PT Telkom atas nama yayasan itu (Siar, 3 Feb 1998).

Yayasan Bulog, dengan sendirinya resminya diketuai oleh siapa yang kebetulan menjabat sebagai Ketua Badan Urusan Logistik (BULOG). Namun sejak dari zaman Achmad Tirtosudiro, kemudian Bustanil Arifin, lalu sekarang Beddu Amang, Suharto selalu menempatkan "orangnya" di posisi Ketua Bulog itu, yakni orang-orang yang dipercayainya untuk sekaligus mengurus PT PP Berdikari, perusahaan yang didirikannya dari harta antek-antek Sukarno yang disitanya. Walaupun perusahaan itu resminya berstatus perusahaan negara, dalam perjalanan waktu PT Berdikari, yang sudah berkembang menjadi konglomerat sendiri, dikuasai oleh tiga yayasan yang diketuai Suharto, Dharmais, Dakab, dan Supersemar, yang juga menguasai saham-saham Bank Duta, bank kelompok ini. Saya akan berbicara lagi tentang hal ini dalam bagian tentang bank-bank kelompok Nusamba yang dikepalai oleh Bob Hasan.

Ketika Bulog dipegang oleh Bustanil Arifin, yang isterinya masih kerabat Nyonya Tien Soeharto, keluarga Arifin membentuk konglomeratnya sendiri, yakni Danitama Group. Konglomerat ini banyak bekerjasama dengan kelompok Salim dan kelompok Bimantara. Sementara anak-anak Bustanil Arifin, juga duduk dalam PT Prima Comexindo, perusahaan counter-trading (barter) Hashim Djojohadikusumo, yang akan saya ulas kegiatannya dalam bagian tentang yayasan-yayasan para besan dan keluarganya.

Beddu Amang, ketua Bulog yang sekarang, juga duduk sebagai komisaris salah satu anak perusahaan Danitama, yakni PT Bormindo Nusantara, sebuah perusahaan kontraktor pengeboran minyak. Makanya, pucuk pimpinan Bulog selalu tumpang-tindih kepentingan bisnisnya dengan bisnis keluarga besar Suharto, baik secara langsung maupun melalui keluarga Arifin (Anon., 1991; CISI, 1991: 58-60; Jakarta Post , 13 Febr. 1994; Warta Ekonomi , 24 Okt. 1994: 16).

Kini, dengan Yayasan Bulog menjadi pemegang 10% saham pusat perbelanjaan PT Goro Yudistira Utama (Warta Ekonomi , 4 April 1994: 29-30; Swa , 28 Maret - 9 April 1997: 58-60; Siar , 4 Febr. 1998), fasilitas dan harta yayasan ini dapat dimanfaatkan pula oleh Tommy Suharto, sebagaimana kakak-kakaknya -- Tutut dan Bambang -- memanfaatkan Yayasan TVRI, sebagaimana Sigit dan kini Tutut memanfaatkan Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Sosial, pencetak untung dari lotere SDSB.

Seperti diketahui, Bulog adalah salah satu sumber korupsi utama menurut hasil penyelidikan Komisi Empat yang dibentuk Suharto, menanggapi aksi-aksi mahasiswa di awal 1970-an. Namun Achmad Tirtosudiro, Ketua Bulog di masa itu yang bekas pejabat Kostrad dan teman dekat Suharto, tak pernah diajukan ke pengadilan, sebagaimana juga halnya Ibnu Sutowo, walaupun Pertamina juga sudah terbukti merupakan sarang korupsi di tahun 1970-an.

Yayasan-yayasan yang dikuasai Mamiek: --------------------------------------------- Sub-kelompok keempat adalah yayasan-yayasan yang dipimpin atau dikelola Siti Hutami Endang Adiningsih alias Mamiek Suharto, yang terdiri dari (40) yayasan pemilik obyek wisata Taman Buah Mekarsari (TMB) seluas 260 hektar di sepanjang koridor Cibubur-Cianjur dan (41) Yayasan Bunga Nusantara, yang didukung oleh Nyonya Christine Arifin, isteri bekas Ketua Bulog yang masih kerabat Nyonya Tien Suharto, pengelola Taman Bunga Nusantara (TBN) seluas 35 hektar di Kabupaten Cianjur (Shin, 1989: 268; Tiras, 23 Nov. 1995: 15-16; Swa, 13-27 Maret 1997: 99).

Yayayan-yayasan yang dikuasai Titiek & Prabowo: -------------------------------------------------------- Sub-kelompok kelima adalah yayasan-yayasan yang dipimpin atau didominasi oleh Titiek Prabowo atau suaminya, Letnan Jenderal Prabowo Subianto, yang terdiri dari (42) Yayasan Badan Intelijen ABRI (BIA), yang dikuasai Prabowo bersama teman dekatnya, Mayor Jenderal Jacky Anwar Makarim, yang ikut mengelola sistem perparkiran di Jakarta (Gatra, 4 Feb 1995), (43) Yayasan Kobame (Korps Baret Merah), pemegang saham PT Kobame, (44) Yayasan Veteran Integrasi Timor Timur, (45) Yayasan Hati, yang dibentuk sejumlah "partisan" (orang-orang Timor Leste dan Timor Barat) yang membantu Kopassus merebut Timor Leste di tahun 1975-1976, (46) Yayasan Kerajinan Indonesia dan (47) yayasan pencari dana KONI, yang diketuai Titiek Prabowo (Asiaweek, 12 April 1996: 39; The Australian, 10 Oct. 1996), serta (48) Yayasan Dharma Putera Kostrad, yang secara ex officio sekarang berada di bawah Prabowo sebagai Komandan Kostrad yang baru.

Sedikit catatan tentang yayasan-yayasan yang dikuasai Titiek dan suaminya. Semenjak Prabowo jadi Komandan Kopassus, PT Kobame mendapat kredit sindikat Rp 45 milyar dari BRI dan Bank Pelita (milik kel. Djojohadikusumo) untuk membangun proyek-proyek properti di daerah Cinjantung, serta berusaha mengambilalih 50% saham Hotel Horison (EBRI, 18 Juni 1997; Siar, 10 Des 1997). Tidak jelas siapa ketuanya, tapi jelas berada di bawah pengaruh Prabowo, walaupun menantu Suharto itu sendiri kini sudah naik pangkat (jadi letjen) dan jabatan (jadi Pangkostrad).

Yayasan Veteran Integrasi Timor Timur, resminya dibentuk oleh Gubernur "boneka" Timor Leste, Jose Abilio Osorio-Soares, sekitar bulan September 1994. Namun yayasan itu telah dimanfaatkan untuk promosi bisnis keluarga Suharto di Timor Leste. Hanya dalam tempo 10 menit, Nyonya Siti Hediati Prabowo, alias Titiek Prabowo, berhasil mengumpulkan sumbangan Rp 210 juta bagi yayasan itu. Kesempatannya adalah Lokakarya dan Temu Usaha se-Nusa Tenggara dan Timor Leste, pertengahan September 1994, di Dili. Sumbangan para pengusaha itu menanggapi himbauan Titiek dalam jamuan makan malam di rumah gubernur, konon untuk menghargai perjuangan para keluarga veteran pejuang "integrasi".


Penyumbangnya: Titiek Prabowo sendiri (Rp 50 juta); wakil perusahaan kayu & ikan Djajanti Group, di mana paman Titiek, Sudwikatmono menjadi presiden komisaris (Rp 50 juta); serta wakil-wakil Sucofindo, Texmaco, Modern Group, dan lima perusahaan lain (Jawa Pos, 14 Sept, 1994).

Ternyata, dari semua penyumbang di malam dana itu hanya Titiek dengan kelompok Maharaninya dan Marimutu Sinivasan dengan kelompok Texmaconya yang sudah menanam modal di bumi Loro Sae. Keduanya berkongsi dengan Yayasan Hati membangun pabrik tenunan Timor, PT Dilitex, bernilai US$ 575 juta.

Yayasan Hati, walaupun secara resmi dipimpin Gil Alves, menantu sang gubernur boneka, sesungguhnya merupakan alat bisnis Titiek Prabowo juga. Selain di pabrik tekstil PT Dilitex, puteri kedua Presiden Suharto itu juga partner pabrik garam Yayasan Hati di Manatuto. Kedua pabrik baru itu diresmikan Titiek di Dili, bulan Mei tahun lalu (Aditjondro, 1997a; Lema, 1997; EBRI, 5 Feb 1997: 34).

Yayasan pencari dana KONI, sudah dapat dipastikan tidak cuma akan mencari dana bagi KONI, melainkan juga bagi keluarga Suharto, baik melalui Titiek Prabowo maupun melalui Jenderal Wismoyo Arismunandar. Segera sesudah terpilih sebagai Ketua KONI, akhir Januari 1995, ia memanggil 65 boss konglomerat, termasuk Liem Sioe Liong, Eka Tjipta Widjaja, Ciputra, dan James Riady, untuk "urunan" bagi penyelenggaraan SEA Games. Maklumlah, Wismoyo masih termasuk famili, sebab ia menikah dengan Datiet Siti Hardjanti, adik almarhumah Nyonya Tien Suharto (Sinar , 4 Febr. 1995: 8-9, 25 Nov. 1995: 76; Forum Keadilan, 4 Des 1995: 39-40).

Wismoyo sekarang menjadi presiden komisaris perusahaan penerbangan Mandala Airlines, mewakili Nusamba dan Sigit Harjojudanto (Iklan Info-Bisnis, Nov 1994; Indocommercial, 26 Jan 1995: 2). Karuan saja Bambang "dipercayai" untuk mengetuai konsortium bersama Grup Mulia dan Titiek Prabowo untuk membangun hotel, apartemen dan mall di bekas lapangan tembak Senayan guna memanfaatkan pesta olahraga SEA Games ke-19 di Jakarta, 11-19 Oktober lalu.

Sementara itu, Tutut "dipercayai" untuk mengelola armada taksi SEA Games dengan 15000 mobil Proton Saga yang diimpornya di Malaysia, sedangkan Bambang, juga dengan dalih untuk keperluan SEA Games ke-19, diizinkan mengimpor 615 mobil mewah, tanpa membayar bea masuk.

Lalu, berbulan-bulan sesudah SEA Games selesai pun, konsorsium yang dipimpin Bambang Trihatmodjo dan Bambang masih diizinkan "memajak" uang rakyat lewat stiker SEA Games, tanpa pertanggungjawaban terbuka (Swa, 24 April-7 Mei 1997: 94-96; Kontan , 23 Juni 1997; D & R , 8 Nov. 1997: 98-99; Siar, 7 & 10 Okt 1997). Itulah enaknya punya paman jadi Ketua KONI.

Yayasan Dharma Putera Kostrad: Sedikit catatan tersendiri perlu diberikan tentang Yayasan Kesejahteraan Sosial Dharma Putera Kostrad (YDP Kostrad), yang kini dikuasai oleh Letjen Prabowo Subianto sebagai Pangkostrad baru. Barangkali banyak orang sudah lupa, bahwa yayasan ini merupakan 'kapal keruk duit' pertama bagi Suharto di awal Orde Baru, di masa transisinya dari Pangkostrad menjadi Presiden penuh.

Ketua harian YDP Kostrad mula-mula adalah Brigjen Sofyar, Kepala Staf Kostrad waktu itu, yang juga "terpilih" sebagai Ketua KADIN Indonesia. Sesudah Sofyar meninggal tahun 1973, jabatan itu dialihkan Suharto kepada Jenderal Suryo Wiryohadipuro, salah seorang Aspri Presiden waktu itu.

Walaupun resminya Suryo menjabat sebagai ketua harian YDP Kostrad, pengelolaan bisnis kelompok perusahaan itu berangsur-angsur dipercayakan Suharto pada Sofyan Wanandi. Sofyan adalah tangan kanan Jenderal Sudjono Humardani, yang juga Aspri Presiden Suharto. Maka masuklah Sudjono Humardani, dua orang puteranya, Djoko dan Salim, dan seorang menantunya, Saso Sugiarso, ke dalam perusahaan-perusahaan kelompok itu, yang pada awalnya bekerjasama erat dengan Yayasan Kartika Eka Paksi, pemilik kelompok perusahaan Tri Usaha Bhakti (TRUBA).

Juga isteri dan anak Jenderal Ali Murtopo, Aspri Presiden yang lain, masuk menjadi komisaris sebagian perusahaan Pakarti Yogya. Maklumlah, tangan kanan Ali Murtopo adalah Jusuf Wanandi, abang si Sofyan. Mereka berdua, Sofyan dan Jusuf, adalah agen Operasi Khusus (Opsus), operasi klandestin TNI/AD yang dikomandoi Jenderal Ali Murtopo mula-mula khusus untuk merebut Irian Barat, kemudian untuk mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia, kemudian dimobilisasi untuk memenangkan pengangkatan Suharto menjadi Presiden penuh dalam Sidang Umum MPR 1967, lalu terakhir dipakai untuk memantapkan kemenangan Golkar dalam Pemilu 1971 serta melumpuhkan semua partai lain.

Sementara itu, pembagian rezeki bagi keluarga Jenderal Suryo, tidak dilupakan. Seorang menantunya, Adiwarsito Adinegoro, juga turut dalam delapan perusahaan milik Kostrad. Sedangkan seorang anak Jenderal Suryo sendiri, Tony Suryo, dilibatkan dalam kelompok bisnis Astra, dan menjadi tangan kanan Edward Surjadjaja dalam kelompok Summa. Dengan kata lain, pada awalnya Sofyan Wanandi dan banyak pengusaha keturunan Cina lain yang mendukung Suharto, sengaja melibatkan para jenderal dalam inner circle Suharto berikut keluarganya dalam bisnis mereka, supaya rezim ini betul-betul 100% berkiblat pada kepentingan ekonomi mereka.

Di tangan Sofyan Wanandi itulah bisnis kelompok Kostrad -- yang lebih dikenal dengan nama kelompok Pakarti Yogya -- berkembang dengan pesat, dengan dukungan dari kelompok Salim dan konglomerat-konglomerat lain, seperti kelompok Mantrust, Bank Panin, BUN, dan lain-lain.

Misalnya, Bank Windu Kencana, prakteknya adalah kongsi (joint venture ) antara Kostrad dan Liem Sioe Liong, walaupun menurut akte notarisnya adalah milik YDP Kostrad, Yayasan Trikora, dan Yayasan Jayakarta. Pabrik perakitan Volkswagen, yang dirampas Kostrad dari Piola Panggabean, dan berganti nama menjadi PT Garuda Mataram, adalah kongsi antara Kostrad dan kelompok Mantrust. Bahkan dalam PT Toyota Astra Motors, agen tunggal mobil Toyota di Indonesia, YDP Kostrad memiliki 7,5% saham. Juga dalam agen sepeda motor Honda, PT Federal Motors yang anak perusahaan Astra juga, YDP Kostrad punya saham (Tambahan Berita Negara RI tgl. 18 Juni 1968 No. 49; Shin, 1989: 258-261, 266, 335, 411; Robison, 1990: 262-263, 282, 288; Warta Ekonomi, 29 Okt. 1990: 27).

Lama-lama, Sofyan mulai mengembangkan kelompok perusahaan yang didominasi keluarga Wanandi, yang lebih dikenal dengan nama kelompok Gemala, yang di tahun 1993 terdiri dari 32 perusahaan dengan omset lebih dari Rp 1,2 trilyun setahun (Prospek , 13 Agustus 1994: 20). Perusahaan-perusahaan Kostrad sendiri semakin terlantar, apalagi setelah VW semakin disaingi mobil-mobil Eropa, AS, Jepang, dan Korea yang diageni kelompok Salim serta bisnis keluarga Suharto yang lain (Chalmers, 1988).

Dalam dasawarsa terakhir, kelompok Nusamba dan bisnis keluarga besar Suharto lainnya mulai masuk menguasai berbagai perusahaan yang dulu didominasi Kostrad. Di tahun 1970, akte notaris PT Bogasari menentukan bahwa 26% keuntungan pabrik penggilingan terigu itu harus harus dibagi rata antara YDP Kostrad dan Yayasan Harapan Kita. Tujuh tahun kemudian, akte notaris Bogasari direvisi. Nyonya Bustanil Arifin, yang masih kerabat Nyonya Tien Suharto dan suaminya masih Ketua Bulog waktu itu, masuk menjadi pemegang 21% saham Bogasari. Dialah yang berhak menentukan pembagian keuntungan pabrik terigu raksasa itu untuk yayasan-yayasan sosial. Jadi, lenyaplah "jatah" otomatis YDP Kostrad sebesar 13% itu (Shin, 1989: 268, 354).

Kemudian, seperti yang sudah disinggung di atas, maskapai penerbangan PT Mandala Airlines, kini dikuasai Nusamba (45%) dan Sigit Harjojudanto (15%), sehingga saham PT Dharma Putera Kencana (a/n YDP Kostrad) tinggal 40%. Mandala juga telah mengangkat Jenderal Wismoyo Arismunandar, adik ipar Nyonya Tien Suharto, sebagai Presiden Komisaris. Masuknya pemegang saham baru juga memperkuat otot operasi Mandala, dengan membeli dua pesawat Boeing 737 bekas milik maskapai penerbangan Jerman, Lufthansa (Indocommercial , 26 Jan. 1995: 1-2).

Kendati demikian, YDP Kostrad masih tetap bertahan sebagai pemegang saham sejumlah perusahaan lain yang tergolong basah, misalnya pabrik karung plastik Pertamina, PT Karuna, bersama dua yayasan TNI/AD yang lain (Prospek , 16 Febr. 1991: 9).

YDBKS, dari Sigit dioper ke Tutut: ---------------------------------------------------------- Akhirnya, dalam sub-kelompok keenam, adalah (49) Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Sosial (YDBS), pengelola SDSB, yang dulu praktis dikuasai oleh Sigit Harjojudanto, putera Suharto yang tertua, dan kini dikuasai oleh Tutut sebagai Menteri Sosial yang baru.

Kita tentunya belum lupa bahwa hasil pemasukan keluarga Suharto dari berbagai lotere nasional, juga belum pernah dipertanggungjawabkan kepada rakyat banyak. Berbagai lotere nasional itu dikelola oleh YDBKS, yang resminya berada di bawah Menteri Sosial, tapi secara de facto dikuasai Sigit Harjojudanto bersama sejumlah pengusaha swasta tangan kanannya.

Tahun 1985, Sigit ikut mengelola Porkas, yang ditentang keras oleh pemerintah daerah Sumatra Barat dan DPRD Jawa Barat atas dasar agama. Waktu itu, kecaman-kecaman ke alamat Porkas sekedar dibungkam oleh pemerintah pusat dengan dalih bahwa Porkas bukan judi.

Sigit pun bebas meraih keuntungannya. Dua orang pengusaha muda yang ikut terlibat dalam pengelolaan dana Porkas, Robby Tjahjadi (yang baru bebas dari penjara karena menyelundupkan puluhan mobil mewah) dan kawan sekolahnya di Solo, Robby Sumampouw, juga semakin semarak bisnis mereka sesudah Porkas dihapus. Robby Tjahjadi membangun kerajaan tekstil Kanindo-nya, sementara Robby Sumampouw, dengan backing Benny Murdani, memonopoli bisnis kopi di Timor Leste.

Bukan cuma itu. H.M. Jusuf Gading, Dirjen Bantuan Sosial Departemen Sosial (1972-1979), pencetus Undian Harapan pendahulu Porkas, mendapat "promosi" tak langsung dari keluarga Suharto. Seorang anaknya, Irvan Gading, menjadi salah satu partner bisnis Tommy Suharto, yang kebetulan juga bekas teman sekolahnya. PT Gading Mandala Utama (GMU), dengan Tommy sebagai presiden komisaris dan Irvan sebagai presiden direktur, menjadi agen tunggal alat-alat berat bagi Departemen PU, bekerjasama dengan kelompok Arthayasa milik Rafiq Radinal Muchtar, anak Menteri PU waktu itu. Belum lagi bisnis lain dari GMU, yang merupakan satu sub-kelompok dalam konglomerat Humpuss (Shin, 1989: 248; Wibisono, 1994; Aditjondro, 1994: 57-62; Prospek , 6 Maret 1993: 18-21, 19 Febr. 1994: 56-57;Indonesia Business Weekly , 11 Maret 1994: 10;Warta Ekonomi , 20 April 1992: 23).

Setelah Porkas dibubarkan, Sigit terlibat lagi dalam pengelolaan lotere SDSB, bersama Robby Sumampouw, Henry Pribadi, dan Sudwikatmono. Walaupun SDSB kemudian dibubarkan juga, akibat kencangnya demonstrasi-demonstrasi umat Islam dan aktivis mahasiswa, uang yang terkumpul juga belum pernah dipertanggungjawabkan kepada rakyat.

Malah sebaliknya, Sigit dengan tenang menggunakan bagiannya untuk membangun hotel berbintang lima Bali Cliff Resort seharga US$ 50 juta di Bali. Sementara itu, bisnis para co-manager dana SDSB, juga berkembang dengan pesat. Robby Sumampouw, partner Sigit dalam pengelolaan Porkas maupun SDSB, yang juga pernah membantu Tommy mengelola BPPC, menanam keuntungannya dalam kasino raksasa di Pulau Christmas, Australia. Kawan baiknya, Tommy Suharto, pun sering berjudi di kasino senilai hampir 40 juta dollar AS itu, di mana perusahaannya, Sempati Airlines, menikmati monopoli penerbangan dari/ke Jakarta.

Henry Pribadi, yang juga partner Bambang Trihatmodjo dalam proyek petrokimia Chandra Asri, perusahaan pemungut iuran televisi PT Mekatama Raya, stasiun televisi swasta SCTV, serta Bank Alfa bin Bank Andromeda, merupakan pengunjung setia kasino Crown di Melbourne, di mana ia pernah memasang taruhan satu juta dollar Australia dalam semalam (Borsuk, 1993; Aditjondro, 1994: 88-89, 1995: 1-2, 1996; Loveard, 1996: 38; Robinson, Hewitt dan Munro, 1997;Tempo , 28 Des. 1991; Gatra , 12 Okt. & 26 Okt. 1996).

Semuanya ini seolah-olah mendidik rakyat bahwa lotere itu halal, mencari untung berlimpah dari lotere juga halal, dan lalu menggunakan keuntungan hasil lotere itu untuk bermain judi juga halal. Ironisnya, seorang Sekjen PB NU terpaksa meletakkan jabatannya gara-gara menerima dana SDSB untuk kegiatan organisasinya, dan Pengurus Besar NU sendiri nyaris retak karena masalah itu.

Sementara itu, dana YDBKS terus beranak-pinak, dan mencari-cari tempat di mana dana itu dapat ditanamkan. Tahun 1994, lewat perantaraan Menpora Hayono Isman, Bendahara YDBKS, Wisnu Saputra, dipertemukan dengan Bendahara Yayasan Dharmais, Mayjen (Purn.) Hediyanto, untuk menyelamatkan Bank Arta Prima yang tadinya dikuasai Kosgoro. Itulah awal dari apa yang kemudian dikenal sebagai skandal kredit Bank Arta Prima, yang menyebabkan seorang putera Mas Agung, Oka Mas Agung, dan Kim Johannes Mulia ditahan, dan nyaris menyeret Yayasan Dharmais dalam kemelut itu juga (Tiras , 2 Juni 1997: 92-95, 9 Juni 1997: 83-87; Suara Independen , Juli 1997).

Namun terlepas dari skandal BAP itu sendiri, anecdotal evidence ini menunjukkan bahwa Yayasan pengelola SDSB itu, sungguh-sungguh belum kosong kasnya. Nah, sebagai Menteri Sosial yang baru, Tutut kini secara ex officio menjadi boss YDBKS, yang keuangannya belum pernah dipertanggungjawabkan. Sebagai Menkes baru, Tutut dapat menghilangkan semua jejak pembukuan lotere-lotere yang sudah dibubarkan tanpa banyak kesulitan, sambil menggunakan YDBKS sebagai "kapal keruk" duit yang baru.

Yayasan para besan dan kerabat di kampung: -------------------------------------------------------------- Kemudian dalam kelompok yayasan para besan dan keluarga, tercatat (50) Yayasan Pembangunan Jawa Barat, (51) Yayasan 17 Agustus 1945, dan (52) Yayasan Pendidikan Triguna yang ketiga-tiganya berafiliasi ke mendiang Eddi Kowara Adiwinata, ayah mertua Tutut, serta Nyonya Eddi Kowara (iklan dukacita Suara Merdeka, 23 Jan 1995 & Jawa Pos, 7 Maret 1996); (53) Yayasan Pralaya Loka, yang diketuai Nyonya Dora Sigar-Djojohadikusumo, yang berniat mendirikan krematorium tercanggih di Indonesia, di Cikarang, Jawa Barat (Kontan, 23 Juni 1997), (54) Yayasan Dana Mitra Lingkungan (Warta Ekonomi, 29 Okt. 1990: 31), serta (55) Yayasan Balai Indah yang diketuai Hashim Djojohadikusumo, yang dibentuk untuk menggalakkan ekspor barang dan jasa Indonesia ke negara-negara bekas Uni Soviet.

Yayasan Dana Mitra Lingkungan, yang dirintis oleh Profesor Sumitro Djojohadikusumo, paling dikenal di lingkungan organisasi non-pemerintah (ornop), terutama ornop lingkungan seperti WALHI, karena rajin memberikan bantuan buat kegiatan-kegiatan pendidikan lingkungan, yang tidak mengarah pada oposisi terbuka pada rezim Suharto. Sumber dananya kebanyakan perusahaan-perusahaan multinasional yang berasal dari negara-negara Barat, seperti PT BAT (British American Tobacco), Caltex, dan lain-lain.

Dalam kelompok yayasan para kerabat suami-isteri Suharto-Nyonya Tien Suharto di Solo dan Yogya, termasuk (56) Yayasan Mangadeg, (57) Yayasan Pendidikan Grafika, dan (58) Yayasan Kesejahteraan dan Sosial Sahid Jaya, yang ketiganya diketuai oleh Sukamdani Gitosarjono, seorang sepupu Nyonya Tien Suharto, (59) Yayasan Suryasumirat, (60) Yayasan HIPMI Jaya, (61) Yayasan Kinasih, serta (62) Yayasan Kemusuk Somenggalan yang dikelola sanak-saudara Suharto di Dukuh Kemusuk, Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Soal Yayasan Mangadeg dan Yayasan Kemusuk Somenggalan akan dijelaskan di bagian tersendiri, jadi marilah kita tinjau yayasan-yayasan kaum kerabat Suharto yang lain.

Yayasan Kesejahteraan dan Sosial Sahid Jaya, dibentuk dan diketuai oleh Sukamdani Gitosarjono untuk mengelola Universitas Sahid dan Akademi Perhotelan Sahid, serta membantu beberapa perguruan tinggi lain di Indonesia (InfoBisnis , Juli 1994: 13).

Yayasan Suryasumirat adalah badan hukum yang melalui Keppres No. 7 Th. 1991, mendapat rezeki nomplok berupa sebagian kekayaan dana milik Puro Mangkunegaran. Berdasarkan Keppres itu, yayasan ini ditugaskan mengelola aset Mangkunegaran. Termasuk dana Rp 3 milyar yang dihibahkan pemerintah kepada kaum kerabat keraton, dari mana Nyonya Tien Suharto berasal. Dana itu disimpan dalam bentuk deposito atas nama yayasan itu di bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Dalam Keppres itu juga ditegaskan bahwa yayasanlah yang berhak mengelola dan memanfaatkan seluruh hasil deposito tersebut.

Menurut Agus Sudono, bekas ketua FBSI, yang menjabat sebagai Ketua Harian Yayasan Suryasumirat, dana hibah dari pemerintah itu disimpan di BDN Manggala Wanabakti, Jakarta. Yayasan ini memanfaatkan bunga simpanan sebagian besar (65%) untuk membiayai Puro Mangkunegaran, 5% untuk keperluan Himpunan Kerabat Mangkunegaran Suryasumirat (HKMNS), 12% untuk biaya operasional Yayasan Suryasumirat, dan 18% untuk cadangan keperluan mendadak. Pengeluaran terbesar, menurut Agus Sudono, adalah untuk membiayai pengelolaan Puro Mangkunegaran, yakni rata-rata Rp 17,5 juta per bulan. Itu hanya untuk menggaji para karyawan, dan belum termasuk honor Sudjiwo, sebagai pengageng puro (Sinar , 19 Sept. 1994: 27).

Yayasan HIPMI Jaya, adalah yayasan yang dibentuk para pengurus dan bekas pengurus Himpunan Pengusaha Muda Indonesia cabang Jakarta Raya. Di sana termasuk putera keempat Sukamdani Gitosardjono, Haryadi Budisantoso Sukamdani, 43, yang biasa dipanggil "Aik". Yayasan ini termasuk salah satu pemegang saham PT Info Jaya Abadi, penerbit majalah Info Bisnis .

Sebelum punya SIUPP, majalah bisnis yang waktu itu langsung diterbitkan oleh HIPMI Jaya sudah beredar bebas di toko buku dan agen koran & majalah di kota-kota besar di Indonesia, walaupun Info Bisnis merupakan majalah intern HIMPI Jaya. Peredaran secara komersial ini bertentangan dengan peraturan pemerintah tentang penerbitan khusus yang hanya punya STT (Surat Tanda Terdaftar), dan banyak majalah mahasiswa dan ornop yang telah ditegur dan dicabut STT-nya karena dianggap melanggar peraturan ini.

Bulan April 1995, setelah PT Info Jaya Abadi terbentuk, majalah itu memperoleh Surat Izin Penerbitan Pers (SIUPP). Kontan penerbit majalah Info Bisnis itu menjual sahamnya kepada keluarga besar HIPMI, tanpa mencatatkan sahamnya di Badan Pengawas Pasar Modal (Bappepam) (Kompas , 10 April 1995; Forum Keadilan , 29 Sept. 1994: 83). Hal ini juga bertentangan dengan peraturan pemerintah. Namun presedennya sudah ada, yakni penjualan saham penerbit harian Republika kepada semua orang (Muslim) yang berminat. Termasuk Suharto. Selain itu, pejabat mana yang berani, atau mau menegur penerbit majalah Info Bisnis itu, yang hampir semuanya termasuk pengusaha anak pejabat?

Selanjutnya, Yayasan Kinasih. Yayasan ini patut dicatat sebagai instrumen tak langsung Suharto untuk memelihara simpati umat Nasrani. Resminya yayasan ini milik Radius Prawiro, yang masih saudara sepupu Nyonya Tien Suharto. Yayasan yang sehari-hari dikelola oleh Nyonya Radius Prawiro, memiliki perkebunan anggrek di Ciawi, Bogor, peternakan di Jawa Timur, Sekolah Tinggi Ilmu Sosial Widuri, dan Wisma Kinasih di Jawa Barat (Warta Ekonomi , 29 Okt. 1990: 27; sumber-sumber lain).

Karena kedekatannya dengan para pengurus Dewan Gereja-Gereja di Indonesia (DGI), Wisma Kinasih sering menjadi tempat penyelenggaraan pertemuan-pertemuan DGI, yang kemudian berganti nama menjadi PGI (Persekutuhan Gereja-Gereja di Indonesia). Wisma Kinasih juga cukup dikenal oleh civitas academica berbagai universitas Kristen di Indonesia, di mana Radius duduk sebagai anggota atau pimpinan dewan penyantunnya.

Radius-lah yang berjasa "menyelamatkan" Sinar Harapan dari tangan-tangan Harmoko, Sudwikatmono, Titiek Prabowo, dan Bambang N. Rachmadi (menantu Sudharmono), ketika burung-burung kondor itu memperebutkan bangkai harian Kristen itu, setelah dibreidel oleh Menpen Harmoko, tanggal 9 Oktober 1986 (Byrnes, 1986; sumber-sumber lain).

Toh Radius, yang belakangan ini dipakai lagi oleh Suharto dalam ofensif diplomasi terhadap Blok Barat, hanya dapat bergerak sejauh direstui oleh suami saudara sepupunya. Misalnya, dalam kemelut pemecatan Arief Budiman di Universitas Kristen Satya Wacana, anggota kehormatan Badan Pengurus YPTKSW itu tak mampu memaksa pengurus Satya Wacana mencabut pemecatan perintis Program Pascasarjana Studi Pembangunan UKSW itu.

Soalnya Radius tidak akan mau melakukan apa-apa yang dapat menyulitkan bisnis anak-anaknya, padahal Arief Budiman waktu itu terkenal sebagai pengritik konglomerat paling top di UKSW, di mana Mochtar Riady, boss Lippo Group duduk di badan pengurus yayasan perguruan tinggi swasta itu.

Maklumlah, konglomerat Kariza Group milik ketiga anaknya, Baktinendra, Tri Putra Yusni, dan Pingkan Riani Putri, yang sudah punya aset sebesar Rp 100 milyar di tahun 1993. Sebagian partner bisnis anaknya adalah juga partner bisnis anak-anak Suharto. Misalnya, perkebunan tebu PT Naga Mas seluas 25 ribu hektar di Kabupaten Gorontolo, Sul-Ut, dikelola oleh Bakti Prawiro, berkongsi dengan Prajogo Pangestu, kawan bisnis Tutut dan Bambang.


Sementara itu, Ria Prawiro adalah komisaris PT Perdana Inti Investama, di bawah PresKom Johannes Kotjo, bekas manajer top kelompok Salim yang kini memutar sebagian bisnis Bambang Trihatmodjo. Aset total perusahaan pialang bursa saham itu tahun 1996 sudah bernilai Rp 0,6 trilyun. Ria juga direktur PT Kariza Indalguna, pemegang hak waralaba perusahaan pengelola konferensi internasional, Carrol Partners International. Dalam kapasitas itu ia sudah biasa bergaul dengan para pengusaha top dan kepala negara di kawasan Asia-Pasifik (IEFR, 1997: 444-445; Prospek , 6 Maret 1993: 20; Indonesia Business Weekly , 18 Juni 1993;Suara Independen , Juli 1995: 22; Down to Earth , Agustus 1997: 15).

Yayasan-yayasan yang dikuasai Suharto melalui Habibie, Bob Hasan, dan Sudomo: ---------------------------------------------------------------------------- ------------------------- Last but not least, dalam kelompok ketujuh termasuk yayasan-yayasan yang kini dikuasai secara tidak langsung oleh Suharto melalui Wakil Presiden B.J. Habibie, lewat tiga jalur: ICMI, para alumni Jerman, Sulawesi, dan Batam. Pertama, lewat ICMI, yang mungkin sebentar lagi akan mengganti Ketua Umumnya dengan seseorang yang direstui Habibie, Suharto menguasai (63) Yayasan Abdi Bangsa, pemilik PT Abdi Bangsa yang menerbitkan harian Republika dan majalah Ummat, di mana Haji Muhammad Suharto menjadi pelindung (Prospek, 19 Des 1992: 34), (64) Yayasan Amal Abadi Beasiswa Orangtua Bimbing Terpadu (ORBIT) yang diketuai dr. Nyonya Hasri Ainun Habibie, dan (65) Yayasan Dompet Dhuafa Republika.

Peranan dan kekayaan kedua yayasan terakhir ini tak dapat diremehkan, dan sangat terkait dengan yayasan-yayasan yang dikuasai Suharto secara langsung. Di kalangan wartawan Muslim di Jakarta, Yayasan Orbit cukup dikenal, karena dengan rekomendasi yayasan itu, mereka dapat memperoleh potongan harga tiket pesawat dan berbagai kemudahan lain.

Di awal 1996, Yayasan Orbit telah berhasil mengisi kocek yayasannya sejumlah Rp 2 milyar, dengan menggaet fulus dari semua bank pemerintah (Bapindo, BRI, Bank Exim, BDN, BBD, BTN, dan BNI 46), serta sejumlah bank swasta, yakni Bank Anrico (yang baru saja dibubarkan), Bank Bukopin, Bank Intan, Bank Muamallat, Bank Nasional, Bank Nusa, dan Bank Papan Sejahtera. Di awal 1996 itu, kerjasama sedang dijajaki dengan 10 bank swasta lain, seperti Bank Angkasa, Bank Duta, Bank Danamon, Bank Dwipa, BCA, BII, Bank Lippo, Bank Universal, Bank Victoria, dan Bank Umum Nasional (Jawa Pos , 24 April 1996; Forum Keadilan , 1 Jan. 1996: 107).

Seperti yang kita ketahui, BCA, Bank Danamon, Bukopin, Bank Duta, BUN, Bank Papan Sejahtera, dan Bank Universal, dikuasai oleh klik Suharto melalui keluarga Liem Sioe Liong, tiga anak Suharto (Tutut, Sigit, dan Titiek), Bob Hasan, dan keluarga Djojohadikusumo. Makanya, akan semakin banyak tumpah tindih kekayaan yayasan Suharto yang satu dengan yan lain, melalui kegiatan pencarian dana Yayasan Orbit ini.

Yayasan Dompet Dhuafa Republika, lebih kaya lagi, karena di tahun 1996 yayasan ini telah berhasil meraup fulus sebesar Rp 4 milyar dari sejumlah donor. Tak dijelaskan siapa saja donor yayasan ini (Forum Keadilan , 8 Sept. 1997: 97).

Kekuasaan Habibie -- sebagai tangan kanan Suharto -- di yayasan-yayasan ICMI sangat besar. Dialah yang mencoret Parni Hadi dari jabatan Direktur Produksi PT Abdi Bangsa, dan menggolkan Beddu Amang yang juga Bendahara ICMI dan Ketua Presidium KAHMI (Keluarga Alumni HMI), menjadi komisaris perusahaan penerbit harian Republika itu. Dengan demikian, klik pendukung Suharto di lingkungan ICMI juga semakin solid. Sebab Beddu Amang juga komisaris perusahaan keluarga Bustanil Arifin, PT Bormindo Nusantara, bersama A.R. Ramly yang juga salah seorang komisaris PT Astra International (Jakarta Post, 18 Febr. 1994;Forum Keadilan , 8 Sept. 1997: 97).

Kemudian, lewat Habibie sebagai patron dari para sarjana lulusan Jerman, Suharto akan semakin kuat mempengaruhi (66) Yayasan Bina Bhakti (YBB). Yayasan ini didirikan di bulan Oktober 1977 oleh para alumni Jerman, yang pada awalnya bertujuan membantu realisasi program re-integrasi. "Untuk mempermudah mahasiswa kita yang studi di Jerman mengabdikan dirinya untuk negara, sekembalinya ke tanah air," begitu ujar Lilik D. Susbiantoro, Ketua Dewan YBB pada majalah Prospek , 6 Oktober 1990.

Dalam upaya membantu proses reintegrasi itu, YBB menyajikan sejumlah tawaran bagi para alumni Jerman. Antara lain, menghubungkan mereka dengan perusahaan atau instansi yang membutuhkan mereka. Lantas, ada pula Business Circle , yang menurut Faisal Djalal, ketuanya, merupakan wadah para alumni Jerman yang terjun ke dunia wiraswasta (Prospek , 9 Okt. 1990: 33).

Lalu, lewat Habibie sebagai putera Sulawesi, khususnya Sulawesi Utara, Suharto dapat meraih simpati masyarakat propinsi itu lewat (67) Yayasan Pengembangan Wallacea. Yayasan ini, selain didukung Habibie, juga didukung kelompok bisnis Ibnu Sutowo, yang juga menjadi ketua umum yayasan itu. Salah satu "proyek" yayasan ini adalah pendirian Universitas di ibukota kabupaten Bolaang-Mongondow, untuk dijadikan pusat riset kawasan fauna dan flora Wallacea yang terwakili di Taman Nasional Nano Bogane Wartabone seluas 325 ribu hektar (Teknologi, Des. 1994: 74; sumber-sumber lain).

Akhirnya, lewat kekuasaan keluarga Habibie di Pulau Batam, keluarga Suharto juga dapat 'kecipratan' monopoli pengelolaan rumah sakit dan sekolah-sekolah di pulau itu. Monopoli tidak resmi ini dipegang oleh (68) Yayasan Keluarga Batam, yang diketuai Nyonya Sri Rejeki Habibie, adik B.J. Habibie yang menikah dengan Mayor Jenderal (Purn.) Sudarsono Dharmo-suwito. Bekas kepala BIDA (Batam Industrial Development Authority) yang bernaung di bawah Otorita Batam dari tahun 1978 s/d 1988, yang masih menjabat sebagai Ketua KADIN Batam dan secara politis berkuasa melebihi Camat.

Ketua Otorita Batam sendiri, sejak B.J. (Rudy) Habibie diangkat menjadi Wakil Presiden, dilimpahkan kepada adiknya, J.E. (Fanny) Habibie. Bekas Dubes RI di London itu sebelumnya menjabat sebagai Dirjen Perhubungan Laut di masa tragedi Tampomas II tahun 1981, yang menenggelamkan sekurang-kurangnya 800 orang (Tempo, 21 Febr, 1981: 13;Kompas , 27 Maret 1998; sumber-sumber lain).

Kekuasaan yayasan-yayasan yang diketuai atau didominasi Habibie penting diketahui untuk memantau kekayaan keluarga Habibie dan Suharto. Soalnya, kekayaan kedua keluarga itu banyak bertumpang-tindih di Batam dan beberapa pulau Riau lainnya, termasuk dalam PT Sinar Culindo Perkasa yang mengekspor babi hidup ke Singapura, maupun di luar Batam di mana Tutut berkongsi dengan Timmy Habibie, adik laki-laki Rudy Habibie yang termuda, dalam bisnis telekomunikasi dan pemetaan udara.

Kelompok Timsco pimpinan Timmy Habibie, yang berkongsi pula dengan kelompok Bimantara, Salim, dan Sinar Mas dalam sejumlah industri kimia sudah punya omset Rp 640 milyar di tahun 1995. Isteri Fanny Habibie adalah seorang pemegang saham utama PT Timsco, sementara anak-anak dan beberapa orang saudara kandung Rudy Habibie menguasai saham sejumlah anak perusahaan Timsco.

Kekuasaan keluarga Habibie atas peluang-peluang bisnis di Pulau Batam dan IPTN kini sudah 'menurun' ke generasi kedua. Thariq Kemal Habibie, putera bungsu Rudy Habibie, sudah menjadi presiden direktur konglomerat keluarga Habibie yang kedua, yakni Repindo Panca Group, yang berkantor pusat di Jakarta dengan cabang di Braunschweig, Jerman. Bersama saudara sepupunya, Harry Sudarsono, Thareq telah membangun Hotel Melia Panorama di Pulau Batam.

Selain itu, Thareq juga telah mendapat kepercayaan IPTN dan sejumlah konglomerat swasta untuk memimpin PT Prodin, yang punya spesialisasi menyelenggarakan pameran-pameran dagang produk Indonesia, khususnya pesawat terbang (Wibisono, 1995; Smith, 1996; Hiscock, 1998; Company Profile Repindo Panca Group 1994;Warta Ekonomi , 23 Jan. 1995: 28;Forum Keadilan , 31 Juli 1995: 92; Target , 25 Juni-1 Juli 1996: 22-23; Tajuk , 1 Agustus 1996: 51).

Kemudian, ada yayasan-yayasan yang kini dikuasai secara tidak langsung oleh Suharto lewat Bob Hasan, Menteri Perdagangan dan Industri. Bob Hasan sampai saat ini masih menjabat sebagai presiden komisaris PT Astra International, Inc., mewakili kelompok bisnis Nusamba. Karena itu Suharto melalui Bob Hasan, ikut berkuasa atas sepakterjang (69) Yayasan Toyota Astra Motor, yang memberikan beasiswa pada siswa dan mahasiswa, (70) Yayasan Dharma Bhakti Astra, yang juga bergerak di bidang pendidikan ditambah dengan bantuan bagi calon pengusaha, (71) Yayasan Dana Bantuan Astra, yang membantu anak putus sekolah, dan (72) Yayasan Dharma Satya Nusantara, yang membantu para perwira yang sudah pensiun (Shin, 1989: 346; Warta Ekonomi , 22 Juni 1992: 41).

Mengingat bahwa sejumlah perusahaan Astra sudah dihinggapi saham YDP Kostrad, posisi Bob Hasan di pucuk pimpinan Astra secara finansial ikut memperkuat posisi menantu Suharto, Letjen Prabowo Subianto yang kini jadi Panglima Kostrad -- mengulangi jejak mertuanya, 32 tahun kemudian. Sejarah dinasti Suharto telah menarik garis lingkaran penuh.

Bob Hasan jugs tidak akan begitu saja melepaskan kekuasaannya sebagai "raja hutan" lewat posisinya sebagai Ketua MPI (Masyarakat Perkayuan Indonesia), ketua Apkindo (Asosisasi Panel Kayu Indonesia), dan ketua Asmindo (Asosiasi Mebel Indonesia). Kalaupun ia melepaskan ketiga jabatan ketua itu, begitu pula jabatan presiden komisaris kelompok Kayumanis, dan menyerahkannya kepada kader-kader yang sudah dibinanya selama hampir 20 tahun, ia tak akan begitu saja melepaskan pengaruhnya terhadap ketiga asosiasi itu.

Di bawah pengaruh MPI, Apkindo, dan Asmindo adalah (73) The Indonesian Cultural Foundation, senjata Bob Hasan untuk melakukan counter propaganda melawan gerakan lingkungan sedunia. Yayasan itulah yang mensponsori presentasi satu tesis MA di bidang kehumasan tentang kampanye anti penggunan kayu tropis, karya Nia Sarinastiti Sukanto, puteri bekas Rektor UGM, Sukanto Reksohadiprodjo, dalam Konferensi Kehutanan Sedunia di Bandung, tahun 1992 (Forum Keadilan , 14 April 1994: 50-51).

Nah, dengan diformalkannya hubungan antara Suharto dan Bob Hasan, Suharto tidak perlu sungkan-sungkan untuk menggunakan yayasan itu menghadapi serangan para pencinta hutan Indonesia, di dalam negeri maupun di mancanegara.

Nyonya Pertiwi Hasan, isteri sang raja hutan, yang aktif memproyeksikan diri sebagai seniwati, juga punya satu yayasan, yakni (74) Yayasan Patria Mas Katulistiwa, untuk melaksanakan promosi kerajinan tangan Indonesia. Misalnya, bersama yayasannya itu ia menuguhkan paket "Bianglala Patria" dalam acara Pameran Kerajinan Tangan Indonesia di Pulau Kochi, Osaka, Jepang, tanggal 19-25 September 1995, dengan mencampilkan tari campuran dari berbagai daerah.

Namun selain promosi kerajinan, yayasan itu sekaligus berfungsi sebagai alat propaganda bagi Suharto. Misalnya, dalam acara Gebyar Indonesia dalam rangka ulangtahun RI yang ke-50, Pertiwi Hasan menggamit Budyiati Abiyoga untuk membuat sinetron berjudul Serangan Oemoem Satoe Maret . Maksudnya konon untuk menampilkan sisi lain dari sebuah perjuangan, yakni mereka yang aktif di dapur umum (Ummat , 2 Okt. 1995: 101). Tak pelak lagi, dengan pemilihan judul di atas orang juga mengerti, peranan siapa sebenarnya yang mau ditampilkan oleh sinetron itu.

Di bidang pers, Bob Hasan dan Harmoko telah membentuk (75) Yayasan Maju Bersama, yang mula-mula menerbitkan majalah dwi-mingguan di bidang olahraga, Sportif . Di situ Harmoko tercantum sebagai ketua yayasannya, sedangkan Bob Hasan sebagai pemimpin umum penerbitannya (Warta Ekonomi, 1 Agustus 1994: 23).

Seperti yang kita ketahui, setelah pembreidelan Tempo , Bob Hasan-lah yang kemudian, melalui PT Era Media Informasi (EMI), mendapatkan SIUPP dari Menteri Penerangan Harmoko waktu itu untuk menerbitkan majalah berita Gatra dengan memanfaatkan sebagian eks karyawan Tempo (Suara Independen , Sept. 1997). Kiat ini mirip dengan kiat Sudwikatmono membajak sebagian karyawan tabloid Monitor tempo hari lewat Yayasan Tujuh Dua.

Belum begitu jelas apakah saham Bob Hasan yang 20% dalam PT EMI, mewakili Yayasan Maju Bersama, atau salah satu di antara trio yayasan pemegang saham PT Nusamba. Tapi yang jelas, policy keredaksian majalah Gatra sudah terbukti jelas-jelas mengikuti his master's voice , sehingga yayasan mana yang diwakili, menjadi tidak begitu relevan lagi.

Akhirnya, kita jangan lupa seorang antek Suharto yang paling setia, yakni Laksamana (Purn.) Sudomo, bekas Wapangkopkamtib, bekas Menteri Tenaga Kerja, dan terakhir menjabat sebagai Ketua DPA. Hubungannya dengan Suharto adalah sejak zaman Operasi Mandala di Makassar, di mana Sudomo ikut membantu Suharto melakukan "kerja sambilannya" sejak di Semarang, yakni menyelundup.

Kita tentunya belum lupa, katebelletje Sudomo bagi Eddy Tanzil, yang kelompok Golden Key-nya sesungguhnya punya hubungan bisnis dengan Tommy Suharto, sebelum skandal kredit Bapindo yang Rp 1,3 trilyun itu diekspos oleh Arnold Baramuli. Bank BHS milik kakak Eddy Tanzil, Hendra Rahardja, juga punya hubungan bisnis dengan keluarga Suharto, karena seorang adik Nyonya Tien Suharto, Ibnu Hardjanto, duduk sebagai komisaris di bank itu.

Kembali ke Sudomo, lewat PT Pondok Indah Padang Golf, di mana Sudomo menjadi Presiden Komisaris, Sudomo memelihara hubungan bisnisnya dengan Sudharmono, Ibnu Sutowo, Syarif Thayeb, Ismail Saleh, Ali Said (alm.), Omar Abdalla (alm)., Sudwikatmono, Liem Sioe Liong, Anthony Salim, Henry Pribadi, Hendra Rahardja, Ciputra, Murdaya Widyawimarta, dan sejumlah pengusaha lain (Prospek , 22 Febr. 1992: 76; data komposisi pemilik dan direksi PT Pondok Indah Padang Golf).

Sebagai ketua Persatuan Golf Indonesia (PGI), Sudomo juga melindungi kepentingan para pengusaha lapangan golf dari kecaman para pemilik tanah serta para pegiat hak-hak rakyat, misalnya dalam kasus lapangan golf Rancamaya milik keluarga Yoga Sugama.

Selain itu, Bank Synergy yang baru berdiri tanggal 12 Mei 1993, dan luput dari dua kali pembabatan bank-bank swasta belakangan ini, ikut dimiliki keluarga Sudomo, melalui anaknya, Tini Sudomo (Warta Ekonomi, 10 Mei 1993: 68-70, 24 Mei 1993: 69).

Sambil menjabat sebagai Ketua DPA (karena Suharto melindunginya dalam kasus korupsi Bapindo itu), Sudomo masih memimpin dua yayasan, yakni (76) Yayasan Perhimpunan Manajemen Mutu Indonesia, dan (77) Yayasan Esok Penuh Harapan, yang tugasnya membantu para pedagang asongan yang digusur dari jalan-jalan raya oleh Sudomo dalam Operasi bernama sama (Eksekutif , Mei 1993: 99).

Lewat tangan kanannya ini, Suharto dapat menggunakan dua yayasan yang dipimpin Sudomo ini untuk memperbaiki nasib pedagang kecil, yang paling terhimpit oleh krisis moneter saat ini. Soalnya, kesetiaan Sudomo pada Suharto kembali terlihat, ketika dia baru-baru ini menyarankan agar ABRI mengambil sikap "tembak-di-tempat" terhadap para aktivis mahasiswa, yang sedang berusaha menembus barikade polisi dan tentara yang bermaksud membendung aksi-aksi mahasiswa di dalam wilayah kampus semata-mata (Sydney Morning Herald , 7 April 1998).

Tiga besar pertama: -------------------------- Dari 77 yayasan itu, mana yang paling kuat? Secara finansial, yang paling kuat adalah trio Dakab, Dharmais, dan Supersemar, yang sering bergandengan dalam penguasaan saham sejumlah perusahaan raksasa. Sedangkan dua yayasan milik keluarga Suharto yang juga cukup besar nilai sahamnya dalam perusahaan-perusahaan raksasa dan juga sering bergandeng-tangan, adalah Trikora dan Harapan Kita.

Berikut ini daftar perusahaan yang sahamnya ikut dimiliki Dakab, Dharmais, dan Supersemar, sendiri atau bersama-sama (Vatikiotis, 1990: 62; IEFR, 1997: 238; Smith, 1996;Warta Ekonomi, 29 Okt. 1990: 26-27; Forum Keadilan, 17 Juli 1995: 90-91; Swa, 30 Jan. -19 Febr. 1997: 16, 3-16 Juli 1997: 87; Suara Independen, Sept. 1997):

Majalah Gatra Bank Duta Bank Windu Kentjana Bank Umum Nasional (BUN) Bank Bukopin Bank Umum Tugu Bank Muamalat Indonesia (BMI) PT Multi Nitroma Kimia PT Indocement Tunggal Prakarsa PT Nusantara Ampera Bakti (Nusamba) PT Teh Nusamba PT Gunung Madu Plantations PT Gula Putih Mataram PT Werkudara Sakti PT Wahana Wirawan Wisma Wirawan PT Fendi Indah PT Kabelindo Murni PT Mc Dermott Indonesia PT Kalhold Utama PT Kertas Kraft Aceh PT Kiani Lestari PT Kiani Murni PT Sagatrade Murni

Itu baru daftar minimal. Sebab lewat PT Nusamba di bawah pimpinan Bob Hasan, trio yayasan itu menguasai sejumlah saham dalam sekitar 140 perusahaan yang kekayaannya ditaksir sebesar US$ 5 milyar (Business Week, 17 Febr. 1997: 16). Yang langsung dikelola Bob Hasan sekitar 30 perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan, kehutanan, perkebunan teh, pertambangan, pabrik kertas kemasan, produk metal, dan panas bumi (Swa, 30 Jan.-19 Febr. 1997: 24).

Kemudian, ada kongsi antara Bob Hasan dengan dua maskapai penerbangan yang dikuasai anak-anak Suharto. Dalam Sempati Airlines yang awalnya dikuasai Yayasan Kartika Eka Paksi milik TNI/AD dan kini dikuasai Tommy, Nusamba menguasai 20% saham. Sedangkan dalam Mandala Airlines yang awalnya dikuasai Yayasan Dharma Putera Kostrad dan kini dikuasai Sigit, Nusamba menguasai 45% saham (Indocommercial, No. 122, 26 Jan. 1995: 2; Swa, 30 Jan.-19 Febr. 1997: 24).

Termasuk dalam kelompok Nusamba pula adalah kelompok Tugu Pratama, hasil pembelian 35% saham anak perusahaan Pertamina, Tugu Hong Kong, oleh Nusamba. Sekarang, kelompok itu sudah mencakup 25 perusahaan, hasil diversifikasi dan kongsi dengan perusahaan-perusahaan lain di Indonesia dan mancanegara. Kelompok ini memonopoli hampir seluruh asuransi ekspor kayu lapis yang dikuasai Bob Hasan, asuransi bisnis pertambangan dan penerbangan Pertamina, asuransi hotel-hotel kelompok Sahid, sebagian asuransi Garuda, dan seluruh asuransi satelit-satelit Palapa yang dikuasai Bambang Trihatmojo. Bambang sendiri duduk dalam Dewan Komisaris Tugu Jasatama Reasuransi Indonesia, anak perusahaan Tugu Pratama. Makanya tak mengherankan kalau PT Tugu Pratama Indonesia, induk kelompok Tugu, tahun 1996 meraih laba bersih Rp 90 milyar (Rustam, 1996/1997: 172; Eksekutif, Febr. 1994: 16-25; Swa, 30 Jan.-19 Febr. 1997: 23-24, 30, 36-40).

Belakangan ini, bendera Nusamba semakin berkibar setelah merebut 4,7% saham PT Freeport Indonesia, Inc. serta 5 % saham PT Astra International. Jadi dapat dibayangkan keuntungan yang bakal mengalir ke kas ketiga yayasan Suharto itu dari tambang tembaga-emas-perak terbesar di Indonesia bernilai US$ 3 milyar, serta dari kelompok otomotif terbesar di Indonesia yang kekayaannya bernilai US$ 5,2 milyar (IEFR, 1997: 254; Wall Street Journal, 31 Jan. 1997; Swa, 30 Jan.-19 Febr. 1997: 15, 22; Business Week, 17 Febr. 1997: 16-17; Asiaweek, 7 Maret 1997: 54-56).

Selain Bank Umum Tugu (kelompok Tugu Pratama), Nusamba juga menguasai empat bank swasta lain, yakni Bank Duta, Bank Umum Nasional (BUN), Bank Umum Koperasi Indonesia (Bukopin), dan Bank Muamalat Indonesia (BMI). Kiprah Bob Hasan di perbankan ini dimulai tahun 1989, ketika Bob Hasan "dipercayai" Suharto untuk mengambilalih pimpinan Bank Umum Koperasi Indonesia (Bukopin) dari kelompok Bustanil Arifin. Sesudah kelompok Bob Hasan bercokol di Bukopin, tanggal 29 Juni 1993 diubahlah badan hukum bank itu dari koperasi menjadi perseroan terbatas (PT).

Ini sempat menggugah peringatan Wakil Presiden Tri Sutrisno, yang menghimbau agar PT baru itu tidak meninggalkan prinsip-prinsip koperasi. Maklumlah, Bukopin didirikan tanggal 10 Juli 1970 oleh delapan induk koperasi -- termasuk Inkopad, Inkopal, Inkopol, dan GKBI -- serta Yayasan Bulog. Yang terakhir ini kemudian lebih berperan, karena Ketua Bulog, Bustanil Arifin, juga merangkap sebagai Menteri Koperasi, dan karena itu diangkat menjadi Presiden Komisaris Bukopin.


Peringatan Tri Sutrisno yang juga digarisbawahi pakar koperasi, Thoby Muthis, masuk akal. Sebab di bawah Muchtar Mandala, direktur baru anak buah Bob Hasan, Bukopin sudah bergeser dari akar-akar koperasinya, dan sangat bergantung pada Bulog, perusahaan keluarga KaBulog, Bustanil Arifin, serta kelompok Salim. Ini terbukti dari surat Muchtar Mandala tertanggal 28 Februari 1991 kepada Kepala Bulog yang bocor ke pers. Dalam surat itu Mandala minta pungutan Rp 1 untuk setiap kilogram padi yang dijual Bulog dan didepositokan di Bukopin, dinaikkan. Selain itu, ia juga minta tolong Bustanil menghubungkan Bukopin dengan BPPC yang baru berdirik.

Barangkali untuk membalas jasa Bukopin yang telah memberikan pinjaman Rp 18,5 milyar kepada PT Indocitra Finance, perusahaan leasing milik keluarga Arifin, Kabulog segera meneruskan surat itu kepada Gubernur Bank Sentral, Adrianus Mooy, dengan rekomendasinya sebagai Menteri Koperasi agar permintaan Bukopin diluluskan. Tapi Mooy menolak, sehingga Arifin kemudian minta tolong Liem Sioe Liong menyuntikkan dana ke bank koperasi itu. Liem pun segera mendepositokan Rp 15 milyar ke rekeningnya di Bukopin. Maklumlah, selain merupakan partner Christine Arifin, isteri Bustanil Arifin dalam penggilingan gandum Bogasari, Liem juga telah memperoleh berbagai fasilitas Bulog untuk kilang-kilang gula dan kedelenya.

Setelah Bob Hasan menggantikan Bustanil Arifin sebagai presiden komisaris, saham Nusamba ditingkatkan dari 6,08% menjadi 15,35%. Tak jelas berapa laba bersih bank ini. Yang jelas, di tahun 1994, aset bank itu telah mencapai Rp 1,7 trilun, 50% lebih tinggi ketimbang tahun sebelumnya. Dari seluruh aset Bukopin itu, Rp 1 trilyun lebih merupakan dana fihak ketiga (Schwartz, 1991; Forum Keadilan, 19 Agustus 1993: 22; Info-Bank, April 1995; Swa, 30 Jan.-19 Febr. 1997: 16).

Dua tahun setelah mengambil-alih pimpinan Bukopin, Bob Hasan diminta Suharto mengambilalih pimpinan Bank Umum Nasional (BUN), yang sebagian besar sahamnya milik kelompok Ongko. Tak tanggung-tanggung, Yayasan Dakab bersama Dharmais mengambil-alih 50 % saham BUN. Laba bersih (sesudah dipotong pajak) bank ini tahun 1997 mencapai Rp 66,73 milyar (Vatikiotis, 1990: 62; IEFR, 1997: 380, 406; Swa, Okt. 1995: 60-61).

Di Bank Duta, yang berasal dari aset Haji Mohammad Aslam, seorang pengusaha yang dekat dengan Bung Karno dan ditahan dengan tuduhan PKI, trio Dharmais-Dakab-Supersemar merupakan pemegang saham terbesar. Tahun 1995, sesudah direksi bank itu dialihkan Suharto dari kelompok Bustanil Arifin ke kelompok Bob Hasan, laba bersih bank ini meningkat dari Rp 29 milyar (1994) menjadi Rp 46,7 milyar (1997) (Vatikiotis, 1990: 62; IEFR, 1997: 380, 406; Progres, No. 2/Vol. I, 1991: 27-29; Warta Ekonomi, 29 Okt. 1990: 26-27; Prospek, 11 Mei 1991: 13; Forum Keadilan, 26 Mei 1994: 38, 2 Febr. 1995: 62-63; 17 Juli 1995: 90-91; Swa, Okt. 1995: 60-61).

Berkat jasanya "membenahi" Bukopin, BUN, dan Bank Duta, dua tahun lalu Bob Hasan dan anak-buahnya dipercayai mengambilalih satu-satunya bank yang didasarkan pada hukum Syari'ah, yang didirikan berdasarkan amanat Munas IV Majelis Ulama Indonesia (MUI), Agustus 1990, yakni Bank Muamalat Indonesia (BMI). Dua orang direktur Bank Duta dan Bukopin (Muchtar Mandala dan Tommy Sutomo) diangkat menggantikan direktur lama, setelah Nusamba menjadi pemegang saham terbesar dengan menyetorkan Rp 25 milyar. Dengan demikian diharapkan laba bersih BMI, yang di tahun 1995 hanya mendekat Rp 5 milyar, dapat didongkrak (Ummat, 2 Okt. 1995: 98; Info Bisnis, 16 Juli 1996: 54-55; Swa, 30 Jan.-19 Febr. 1997: 18)

Harap dicatat, lima bank yang kini dikuasai Bob Hasan (Bank Umum Tugu, BUN, Bank Duta, Bukopin, dan BMI) tak satupun tersentuh langkah pembenahan bank swasta oleh Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad, 1 November tahun lalu, atas dorongan IMF. Malah sebaliknya, Suharto secara khusus memberi kesempatan bank-bank itu membenahi diri.

Hari Jumat, 23 Januari lalu, Bob Hasan mengumumkan bahwa empat bank yang dikuasai kelompok Nusamba -- Bank Umum Tugu, BUN, Bukopin, dan Bank Duta -- akan dilebur menjadi satu bank baru dengan aset total bernilai Rp 21 trilyun (A$ 2,54 milyar). Sambil membantu mengatasi pinjaman-pinjaman yang tidak produktif (non-performing loans ), merjer itu akan memadu kekuatan masing-masing bank. Misalnya, Bank Duta kuat di perdagangan eceran, BUN kuat di pinjaman komersial, Bank Tugu kuat di sektor minyak dan gas, sedangkan Bukopin kuat di pinjaman kredit usaha kecil (Sydney Morning Herald & The Australian, 27 Januari 1998).

Betapapun, keuntungan trio Dakab-Dharmais-Supersemar dari BMI dan bank Nusamba baru itu nantinya masih lebih kecil dibandingkan dengan keuntungan dari saham mereka dalam perusahaan semen PT Indocement Tunggal Perkasa (ITP). Menurut Vatikiotis (1990: 62), di tahun 1990 trio itu masing-masing memiliki 6,39% saham dalam perusahaan semen terbesar di Indonesia itu. Berarti total saham trio itu 19,17%. Namun menurut majalah bisnis milik Sukamdani, tiga tahun kemudian saham trio itu dalam Indocement tinggal 3,21% (Indonesia Business Weekly , 5 Maret 1993: 39). Mana yang benar, tidak begitu jelas. Yang jelas, laba bersih perusahaan semen itu pada tahun 1997 telah melebihi Rp 0,5 trilyun (IEFR, 1997: 202). Berarti dividen trio Dakab-Dharmais-Supersemar dari ITP saja tahun lalu berkisar antara Rp 17 milyar dan Rp 105 milyar!

Selain merupakan hasil dari berbagai bentuk korupsi, khususnya nepotisme, sebagian uang Yayasan Dharmais juga bergelimang darah: darah wartawan muda Bernas, Fuad Muhammad Syafruddin alias "Udin", yang mati terbunuh pada tanggal 13 Agustus 1996. Seperti yang sudah cukup merata diketahui pers Indonesia, yang mengantar Udin ke kematiannya adalah tulisannya di harian Yogya itu tentang maksud Bupati Bantul, Sri Roso Sudarmo, untuk menyumbang sejumlah uang ke Yayasan Dharmais, agar ia dapat "terpilih" kembali sebagai Bupati (D&R , 26 April 1997: 78; Sydney Morning Herald , 18 Nov. 1997).

Sang Bupati bermaksud menyerahkan upeti itu ke Yayasan Dharmais melalui R. Notosuwito, Kepala Desa Kemusu. Orang ini, yang masih termasuk kerabat Suharto di kampung, notebene juga pengurus Yayasan Kemusuk Somenggalan yang punya HPH di Surinam. Dari sini tampaklah betapa involuted yayasan-yayasan Suharto ini.

Dua pesaing lama: -------------------------- Selain tiga besar tadi, ada dua yayasan yang juga dipimpin Suharto dan isterinya, yang kekayaannya mulai mengimbangi kekayaan trio Dakab-Dharmais-Supersemar, dilihat dari omset perusahaan yang "dirasuk" saham yayasan-yayasan ini, yakni Yayasan Harapan Kita dan Yayasan Trikora.

Berikut ini daftar nama perusahaan yang saham-sahamnya ikut dimiliki Yayasan Harapan Kita dan Trikora, bersama-sama atau sendiri-sendiri (May, 1978: 296-297; Shin, 1989: 354; Tempo, 4 Febr. 1978; Warta Ekonomi, 29 Okt. 1990: 26-27; Tambahan Berita Negara RI No. 56, tgl. 13 Juni 1971):

PT Bogasari Flour Mills PT Bank Windu Kencana PT Kalhold Utama PT Fatex Tory PT Batik Keris PT Gula Putih Mataram PT Gunung Madu Plantation PT Hanurata PT Harapan Insani PT Kartika Chandra PT Kartika Tama PT Marga Bima Sakti PT Rimba Segara Lines PT Santi Murni Plywood RS Harapan Kita

Inipun hanyalah suatu daftar minimal. Sebab perusahaan-perusahaan inipun sudah banyak beranak-cucu. PT Hanurata misalnya, yang dipimpin mantan Dirjen Bea-Cukai Tahir, sudah berkembang menjadi kelompok perusahaan yang menjalankan bisnis pertambangan, kehutanan, tekstil, konstruksi, dan jalan tol Jakarta-Merak. Total aset kelompok ini sekitar Rp 500 milyar (Swa, 30 Jan.-19 Febr. 1997: 23).

Batik Keris misalnya, yang kini dipegang oleh anak-cucu almarhum Kwee Som Tjok (Kasom Tjokrosaputro), kini telah berkembang menjadi konglomerat yang mencakupi 41 unit usaha, yang tidak hanya bergerak di bidang perbatikan, melainkan juga punya memproduksi dan mengelola pabrik tekstil dan garment, pabrik serat sintetis, properti, hotel, konstruksi, pabrik sepatu, angkutan udara, dan beberapa bank, dengan total aset hampir Rp 1 trilyun di tahun 1996. Selain karena kerja keras keluarga Tjokrosaputro, tentu saja perkembangan ini dilumas oleh fasilitas berkat bantuan almarhumah Nyonya Tien Suharto selaku ketua Yayasan Harapan Kita (May, 1978: 296-297; IEFR, 1997: 132-133; Prospek , 9 Febr. 1991: 76-77; Warta Ekonomi, 27 April 1992: 37; InfoBisnis , Juli 1994; Tiras, 2 Juni 1997: 88-89.

Namun sumber pemasukan Yayasan Harapan Kita yang terlama -- barangkali juga terbesar -- adalah pabrik penggilingan terigu Bogasari, yang sudah berkembang menjadi konglomerat penghasil produk gandum, khususnya supermi, yang luarbiasa sukses bisnisnya berkat monopoli impor gandum yang dilindungi Bulog.

Pabrik terigu itu didirikan "Oom Liem" dan Sudwikatmono, saudara sepupu Suharto, di tahun 1971 untuk menangkap "bantuan pangan" dari Paman Sam berupa gandum lewat Public Law 480 yang diputuskan Kongres AS guna menyubsidi para petani gandum Amerika. Di Indonesia, "bantuan pangan" AS itu dipakai untuk membantu mengisi kocek keluarga Suharto beserta keluarga para jendral pendukungnya, sambil merugikan posisi petani padi Indonesia yang selama tiga dasawarsa dirugikan nilai tukar perdagangannya.

Sepertiu yang sudah dijelaskan di depan, dalam dasawarsa pertama beroperasinya kilang-kilang gandum Bogasari di Tanjung Priok dan Tanjung Perak, akte notaris perusahaan itu menentukan bahwa 26% laba perusahaan itu harus disalurkan ke Yayasan Harapan Kita dan YDP Kostrad.

Tahun 1977, akte notaris PT Bogasari Flour Mills direvisi. Yayasan Dharma Putera Kostrad dicoret dari daftar penerima labanya, dan hanya disebutkan bahwa 20% laba perusahaan itu harus digunakan untuk kepentingan sosial. Namun ada pemegang saham baru masuk, di samping Oom Liem dan Sudwikatmono, yakni Christine Arifin, isteri Bustanil Arifin, yang ketiban rezeki 21% saham Bogasari.

Dengan sang isteri menguasai 21% saham PT Bogasari sementara sang suami menjadi wakil ketua Yayasan Dharmais, mudahlah Bogasari menjadi salah satu sapi perahan yayasan-yayasan Suharto, mengingat 'manunggalnya' pabrik terigu itu dengan kompleks industri pangan siap pakai PT Indofood Sukses Makmur (IFM) yang menguasai 90% pangsa pasar mi instant di Indonesia. Belum lagi keuntungan Bogasari dari ongkos giling gandum yang mereka pungut dari Bulog sebesar US$ 116 per ton, yang US$ 40 dollar lebih mahal dari kilang-kilang gandum lain di dunia.

Dengan ongkos giling yang jauh lebih mahal ketimbang pabrik-pabrik di AS, tentu saja persentase labanya juga lebih tinggi. Kalau di AS marjin laba kilang terigu hanya US$ 10 per ton, atau sekitar 6% dari harga gandum, di Indonesia laba yang dipetik Bogasari dari ongkos gilingnya US$ 35,70 per ton, atau 31% dari harga gandum (Shih, 1989: 353-355; Schwarz dan Friedland, 1991; Prospek, 22 Des. 1990: 41; Laporan Khusus Swa,, Jan 1994).

Nah, kalau impor gandum Bogasari berangsur-angsur meningkat dari satu juta ton di tahun 1972 menjadi hampir lima juta ton tahun lalu (1997), dan kita anggap saja impornya rata-rata tiga juta ton setahun, maka total keuntungan bersih Bogasari selama 25 tahun berkisar sekitar US$ 2,25 milyar, atau sekitar Rp 4 trilyun!

Pendapatan Kelompok Salim di bidang pangan hanya ke luar dari kantong kiri masuk kantong kanan, menyatu dengan pendapatan dari pabrik semennya, sebab ITP juga menguasai 50.94 % saham ISM. Sementara laba ISM sesudah dipotong pajak di tahun 1997 sudah mencapai Rp 352 milyar (IEFR, 1997: 60).

Selain sumber pendapatan rutin yang luarbiasa berlimpah itu, Yayasan Harapan Kita juga sewaktu-waktu mendapat rezeki nomplok dari para pengusaha yang punya hubungan bisnis erat dengan keluarga Suharto. Misalnya, seiring dengan harijadi ke-53 Kelompok Bakrie, sang ketua, Aburizal Bakrie, didampingi CEO-nya, Tanri Abeng, sowan ke Jalan Cendana untuk menyerahkan sumbangan Rp 1 milyar bagi keperluan Yayasan Harapan Kita, melalui ketua yayasan itu, almarhumah Nyonya Tien Suharto (Swa, 9-29 Mei 1996: 40).

Tidak jelas apakah itu upeti, ataukah sumbangan sukarela tanpa tekanan alias "susu tante". Maklumlah, kelompok Bakrie punya segudang usaha kongsi dengan keluarga Suharto. Misalnya, dengan Bambang dan Sudwikatmono dalam bisnis minyak mentah Pertamina lewat Hong Kong, dengan Bambang dalam perkebunan karet di Sumatra, dengan Sudwikatmono dalam Bank Nusantara International, dengan Nusamba di PT Freeport Indonesia, dengan Titiek Prabowo dalam proyek PLTU Tanjung Jati A, dan dengan Tommy dalam bisnis eceran Goro dan Gelael (Pura, 1986; Toohey, 1990; Borsuk and Solomon, 1997; IEFR, 1997: 4; Warta Ekonomi, 4 April 1994: 29-30, 5 Juni 1995: 64-65, 30 Sept. 1996: 39-40; Gatra, 8 Juli 1995, 4 Nov 1995: 29; D & R, 10 Mei 1997: 92; Tiras, 2 Juni 1997: 31-33).

Sebelum beralih ke bagian berikut, sedikit catatan perlu diberikan tentang Yayasan Harapan Kita, yang di tahun 1971 diprotes para aktivis mahasiswa dan intelektual muda seperti Arief Budiman, karena keterlibatan yayasan itu dalam memanipulasi kekuasaan sang suami ketua yayasan itu untuk pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII).

Dua tahun lalu, nama yayasan itu sempat tercoreng sekali lagi, karena diduga terlibat dalam "pencucian uang" (money laundering ) lewat satu anak perusahaannya, PT Harapan Insani, dan sebuah bank misterius, Dragon Bank International, yang berpusat di Kepulauan Vanuatu di Pasifik Selatan, dengan kantor cabang di Jakarta.

Tanggal 18 Juli 1996, harian Neraca (Jakarta) memberitakan bahwa Mabes Polri akan memeriksa seorang bernama "DR. Ibnu Widojo, bos PT Harapan Insani [yang] kabarnya merupakan adik dari seorang pejabat tinggi pemerintahan Indonesia". Sydney Morning Herald pada hari yang sama secara eksplisit mengatakan bahwa Ibnu Widoyo adalah seorang ipar Presiden Suharto. Majalah bisnis Warta Ekonomi tanggal 1 Juli 1996, juga secara eksplisit mengatakan bahwa Ibnu Widojo adalah "adik kandung Ibu Tien Soeharto (alm) dan juga presdir PT Harapan Insani" (hal. 22).

Sebagai partner Bank Dragon di Jakarta, PT Harapan Insani waktu itu berniat membangun serangkaian proyek ambisius bernilai lebih dari US$ 7 milyar. Rinciannya adalah bisnis telekomunikasi senilai US$ 4 milyar, bekerjasama dengan Ghuangzhou Greatwall Electronic & Communication Co., Ltd. dari RRC, dan pembangunan satu gedung pusat perdagangan setinggi lebih dari 101 lantai di Arena Pekan Raya Jakarta, Kemayoran, senilai US$ 3 milyar.

Selain di Indonesia, kongsi Dragon Bank-PT Harapan Insani itu juga menandatangani rencana kerjasama dengan Mara Holding Sdn. Bhd., satu perusahaan di bawah partai pemerintah, UMNO, untuk membangun proyek perumahan dan hotel bernilai Rp 200 milyar di resor pariwisata Pulau Langkawi, Malaysia (Bursa, 4 Juni 1996).

Setelah kehadiran cabang bank Vanuatu itu diprotes Standard Chartered Bank dan Hong Kong Bank, karena ketidakberesan transaksi mereka dengan "bank" itu, dua orang Taiwan pengelola Dragon Bank diusir dari Jakarta dan Ibnu Widojo diumumkan akan diperiksa. Namun setelah itu mendadak berita-berita tentang Dragon Bank lenyap dari udara, sama misterius dengan kedatangannya. Uang yang konon disalurkan oleh bank itu, lewat Vanuatu, juga lenyap tak berbekas.

Makanya pertanyaan apakah betul Dragon Bank dan partnernya, PT Harapan Insani, terlibat dalam pencucian uang haram, dan kalau betul, milik siapa uang haram yang mau dicuci itu, belum terjawab. Namun harap dicatat, Vanuatu bukan tempat baru bagi keluarga besar Suharto, sebab perusahaan mereka yang berkantor di Hong Kong, Panca Holding, yang menguasai impor bahan baku plastik ke Indonesia, didaftarkan di Vanuatu di tahun 1984, dengan Sigit, Bambang, dan Sudwikatmono sebagai direkturnya (Pura dan Jones, 1986a dan 1986b).

Ibnu Widojo sendiri, tampaknya tidak mencapat kesulitan apa-apa dari aparat hukum di Indonesia. Namanya tetap tercatat di bursa saham Jakarta sebagai pemegang 2,80% saham PT Dramindo Adhiduta, satu perusahaan investasi dengan konsesi pertambangan emas seluas 4.000 hektar di Riau. Laba bersih perusahaan ini, tahun 1996, mendekati Rp 1,5 milyar (IEFR, 1997: 30).

Tiga pesaing baru: ------------------------- Berbeda dengan kedua pesaing lama (Harapan Kita dan Trikora), ada tiga pesaing baru, yakni Yayasan Purna Bhakti Pertiwi, Yayasan Amalbhakti Muslim Pancasila (YAMP), dan Yayasan Dana Kesejahteraan Mandiri (YDKM) yang penghasilannya dengan cepat melambung tinggi.

Yayasan Purna Bhakti Pertiwi lebih dikenal sebagai pengelola museum senama milik Suharto dan isterinya di Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Museum Purna Bhakti Pertiwi tempat memamerkan sebagian besar cendera mata yang pernah diterima Kepala Negara dan Ibu Negara, dibangun atas biaya sejumlah pengusaha top, yang perusahaannya boleh jadi ikut memiliki saham yayasan itu.

Para pengusaha itu pertama-tama adalah Probosutejo dan Sudwikatmono, yang masing-masing menyumbangkan paling kurang Rp 300 juta untuk pembangunan museum itu. Kemudian, ada tujuh orang usahawan lain yang masing-masing menyumbangkan Rp 200 juta, yakni Tommy Suharto; Robby Sumampouw, pemilik kasino di Pulau Christmas yang pernah merajai semua bisnis basah di Timor Leste; Tonny Hardianto (direktur PT Binareksa Perdana, perusahaan milik Tommy Suharto yang menjadi motor BPPC); A.R. Ramly (waktu itu Presiden Komisaris PT Astra International); Prayogo Pangestu (Barito Pacific); Usman Admadjaja (Bank Danamon); dan Henry Pribadi (Kelompok Napan) (Prospek, 7 Maret 1992: 78; Bisnis Indonesia , 15 Febr. 1994, 5 Maret 1994; Surya, 15 Febr. 1994).

Tapi itu semua masih kecil dibandingkan dengan pemasukan Yayasan Purna Bhakti Pertiwi dari 22 % sahamnya dalam perusahaan jalan tol PT Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP). Tahun 1997, laba bersih perusahaan jalan tol pimpinan Tutut itu mencapai Rp 123,6 milyar (IEFR, 1997: 538). Berarti dividen Yayasan Purna Bhakti Pertiwi dari jalan-jalan tol CMNP, sebelum krisis moneter melanda negeri kita, tahun lalu telah mencapai Rp 27 milyar!

Belum lagi dividen yayasan ini, setelah jalan-jalan tol yang dibangun dan dikelola kongsi-kongsi CMNP di Malaysia, Filipina, Burma, dan Cina untuk masa kontrak 30 tahun mendatang, mulai beroperasi (Info Bisnis , Juni 1994: 11; Business Week , 19 Agustus 1996: 16; Swa , 5-18 Juni 1997: 46; EBRI , 5 Maret 1997: 44; Prospek , 18 Agustus 1997: 49).

Yang jelas, Yayasan Purna Bhakti Pertiwi terus terjamin pemasukannya dari jalan-jalan tol yang dibangun sang putri sulung berkat dorongan sang ayah sebagai tokoh ASEAN, tokoh APEC, ketua Gerakan Non-Blok dan tokoh Gerakan Negara-Negara Muslim.

Berkat pemasukan dari jalan tol itu, Yayasan Purna Bhakti Pertiwi kini telah menyaingi Yayasan Amalbhakti Muslim Pancasila (YAMP), yang terutama menikmati masa jayanya ketika Sudharmono menjadi Kepala Sekretariat Negara (Sekneg). Selain menjadi Ketua Tim Keppres 10 yang menyaring semua proyek pembangunan daerah yang nilainya di atas Rp 500 milyar, Sudharmono juga menjadi Ketua Umum Golongan Karya dan Sekretaris YAMP. Posisi 'penjaga gawang' itu memungkinkan Sudharmono membesarkan sejumlah pengusaha pribumi, termasuk menantunya sendiri, Bambang Rachmadi, pemegang franchise McDonald di Indonesia, Agus Kartasasmita (adik Ginanjar Kartasasmita), dan kelompok Medco, salah satu perusahaan keluarga Eddi Kowara, mertua Tutut.

Bersama-sama Yayasan Dakab, YAMP menjadi sumber utama pembiayaan Golongan Karya, didukung "sumbangan wajib" antara Rp 50 dan Rp 1000 sebulan bagi setiap pegawai negeri yang Muslim. Berkantor di gedung Setneg, YAMP ikut mengelola proyek-proyek Bantuan Presiden (Banpres). Terang saja para pengusaha yang ingin produk atau jasa dagangannya digunakan dalam proyek-proyek Banpres, mau tidak mau harus 'menyumbang' Yayasan ini, yang pada gilirannya mencari dukungan umat Islam bagi Golkar dan Suharto khususnya dengan menyumbang pembangunan mesjid di mana-mana. Dewan pengurusnya ini terdiri dari Suharto sebagai ketua, Alamsyah, Widjojo Nitisastro, Amir Machmud, K.H. Tohir Widjaja, dan Haji Thayeb Gobel (alm.) sebagai wakil ketua, serta Sudharmono, Bustanil Arifin dan Soekasah Somawidjaja sebagai sekretaris (Vatikiotis, 1990: 63; Pangaribuan, 1995; IEFR, 1997: 35).


Masih belum puas klik yang ini: